Umum

Teroris Berkedok Ulama Kok Dibela. Mikir!.

Bamswongsokarto 2 years ago 987.0

Bukan hal baru lagi jika hingga saat ini kelompok radikalis teroris beserta jaringannya telah menyusup ke berbagai lini kehidupan masyarakat Indonesia, terlebih di era sebelum Joko Widodo berkuasa, mereka seolah seperti mendapat tempat dan dibiarkan berkembang biak tanpa kendali. Mulai dari anak-anak sekolah di sekolah berlabel agama, yang oleh gurunya dilarang mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, juga mengadakan karnaval dengan mengibarkan bendera khilafah dengan menenteng tiruan senjata laras panjang. Kita juga masih ingat , bagaimana sekelompok anak kecil berteriak-teriak “bunuh Ahok” tanpa sedikitpun memiliki rasa takut. Bukankah ini hasil didikan kelompok radikalis teroris? Ini baru sebagian contoh kecil keberhasilan kaum radikalis menciptakan embrio teroris di Indonesia.

Lebih hebatnya lagi, untuk saat ini kelompok radikalis teroris itu sudah masuk ke sebuah lembaga yang fatwa-fatwanya diikuti oleh umat Islam di Indonesia, bernama MUI Majelis Ulama Indonesia. Miris bukan? MUI yang seharusnya sebagai organisasi himpunan perwakilan para ulama dan cendikiawan muslim untuk mewadahi semua persoalan umat Islam dan menjadi jembatan umat Islam dengan pemerintah, juga wadah Musyawarah para Ulama, Zu’ama, dan Cendekiawan Muslim di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia, ternyata di dalamnya ada pengurus yang berafiliasi dengan kelompok teroris.

Nah lu, apakah saat perekrutan pengurus, Majelis Ulama Indonesia MUI hanya asal tampung saja tanpa filter kelayakan tertentu? Bisa jadi, karena kenyataannya, salah satu pengurus Komisi Fatwa MUI Ahmad Zain an-Najah ditangkap Densus 88 Antiteror karena keterlibatannya dengan kelompok dan jaringan teroris. Ini tanda bahwa sejak awal Majelis Ulama Indonesia tidak waspada dalam merekrut anggotanya, juga ketidakwaspadaan terhadap sepak terjang anggota pengurusnya. Atau Majelis Ulama Indonesia mengetahui tetapi bersikap diam dan pura-pura tidak tahu? Semoga saja tidak demikian. Tapi yang pasti, penangkapan ini makin membuktikan bahwa gerakan radikalisme, intoleransi dan terorisme, semakin pandai memanfaatkan ruang dan waktu menyusup ke lembaga-lembaga vital yang ada di negeri ini.

Dan kita pun mengapresiasi sikap Majelis Ulama Indonesia melalui Ketua ketuanya Cholil Nafis pasca ditangkapnya salah satu pengurus komisi fatwa MUI Ahmad Zain an-Najah, yaitu menyerahkan sepenuhnya proses hukum yang berlaku kepada aparat yang berwenang dan dukungannya terhadap penegakan hukum terhadap ancaman tindakan kekerasan terorisme sesuai dengan Fatwa MUI No.3/2004 tentang Terorisme. Juga imbauannya kepada masyarakat untuk menahan diri agar tidak terprovokasi dari kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan tertentu.

Pihak kepolisian sudah menyatakan bahwa penangkapan Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ahman Zain An-Najah dan Anung Al Hamad di wilayah Bekasi berdasarkan bukti-bukti dan hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) 28 tersangka. Artinya, mereka “terbukti” sekali lagi terbukti sebagai bagian dari jaringan teroris JI. Kalau sudah terbukti yang sudah tidak bisa dibantah lagi. Namun sayang, ternyata masih juga muncul kadrun-kadrun yang membela teroris berkedok ulama, dengan narasi basi “islamphobia” dan “kriminalisasi ulama” .

Kelompok kadrun seperti ini memang cekak nalar karena tidak mau menggunakan pikirannya dalam mengartikan kata “terbukti”. Pokoknya membela tanpa mau tahu apakah yang dibelanya itu teroris atau bukan. Kelompok kadrun seperti inilah yang mudah dibodohi dan dikerjai oleh teroris berkedok ulama, teroris yang berkamuflase sebagai ulama, teroris yang mbunglon dalam MUI. Bahkan tidak sedikit politikus bodoh yang tidak tahu makna pernyataan polisi bahwa ketiga teroris itu “terbukti”, lalu ambil bagian dalam membela teroris yang sudah terbukti dan ditangkap oleh Densus 88 Antiteror. Politikus seperti ini sepertinya layak masuk dalam radar pengawasan Densus 88 Antiteror Kepolisian. Para kadrun dan politikus golongan ini biasanya lantang menyuarakan pembubaran Densus 88 Antiteror, padahal mereka tahu Densus 88 ini selalu memburu teroris dan jaringannya yang ada di Indonesia. Kalau mereka lantang menyuarakan pembubaran Densus 88 Antiteror, itu bisa dimaknai bahwa mereka adalah? Silakan pembaca menyimpulkan sendiri.

Sekarang mari kita berpikir dengan kejernihan akal budi dan pikiran kita. Tiga teroris berkedok ulama yang ditangkap Densus 88 Antiteror ini telah merusak marwah ulama secara keseluruhan sekaligus merusak nama baik MUI selama ini. Lalu, masihkan kita mempertahankan teroris yang “mbunglon” menjadi ulama? Baiklah jika 3 orang yang ditangkap Densus 88 Antiteror ini adalah ulama. Tetapi apakah ada ulama yang lahir dan hidup di Indonesia, lantas menjadi teroris yang menginginkan hancurnya Indonesia? Kok sepertinya sesuatu yang jauh dari pemikiran kita ya.

Maka akan lebih baik jika tidak membawa-bawa istilah ulama sebagai dalih pembelaan terhadap Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ahman Zain An-Najah dan Anung Al Hamad, yang memang nyata dan terbukti bahwa mereka adalah teroris.

Salam, Rahayu dan Wilujeng

Bamswongsokarto

Sumber Sumber Sumber