Pencurian dan kehidupan yang agamis ibarat dua mata angin yang berlawanan. Seharusnya keduanya tidak akan bertemu, tetapi di negeri ini tindakan yang berlawanan dengan norma, etika, dan agama apa pun yang diakui secara resmi di Indonesia itu, kok bisa "klop" alias sama-sama terjadi (terlihat) di negeri ini ya?
Saya tak bisa melupakan fakta ini. Sekitar Juni 2009, berbagai media online ternama memberitakan kasus pencurian lampu-lampu dan sekrup di Jembatan Suramadu, padahal baru minggu pertama jembatan ikonik penghubung Surabaya-Madura itu diresmikan. Selang 12 tahun berikutnya, ada pula berita dicurinya kabel serat optik untuk LRT di Setiabudi, Jakarta, yang raib karena dicuri juga.
Lantas yang terbaru, hilangnya bantalan untuk sandaran kursi Whoosh, kereta api cepat rute Jakarta-Bandung, juga tak luput dari "upaya pengamanan barang bagus" yang dilakukan oleh (oknum) masyarakat kita. Mirisnya, ketika ditanya alasan melepas atau membawa pulang bantalan kursi itu, ada jawaban kalau perbuatan itu dilakukan secara tidak sengaja atau tidak tahu kalau bantalan itu tidak boleh dibawa pulang oleh penumpang. Kocak sekali alasannya, kan? Jadi pengen tertawa sambil melempar sepatu ke orangnya!
Saya pun pernah melihat secara langsung soal kebiasaan mengutil ini. Seorang bapak di sebelah rumah pembelajaran yang dibuka oleh pelayanan sosial kami, tiba-tiba menyimpan satu buku LKS yang sedang diangkut ke rumah itu, lalu akan dibagikan setelah kami data. Awalnya dia hanya melihat-lihat karena kepo tapi malah disimpan. Entah untuk apa buku LKS itu, karena setahu saya bapak itu tidak punya anak kecil yang masih SD.
Kalau kita mengambil timeline di atas sebagai contoh saja, yakni antara 2009 sampai 2024, berarti ada rentang waktu 15 tahun dimana kasus-kasus pencurian itu masih saja terjadi, dengan jumlah yang jauh lebih banyak seandainya ada yang mau meneliti secara serius. Betul kan?
Sungguh mengherankan memang, ketika negara ini dikenal agamis, yang terlihat kasat mata dalam kehidupan keseharian (apa pun agama yang dianut) tapi hal-hal yang jelas salah, keliru, dan termasuk perbuatan dosa itu terus terjadi. Beberapa kasus serupa ini, yang pernah saya lihat atau dengar secara langsung, bahkan dilakukan oleh orang-orang yang terlihat santun dan agamis. Luar biasa sekali munafiknya, bukan?
Apakah mereka tidak tahu kalau nyolong itu dosa? Ya, jelas sudah tahulah. Apakah mereka juga tidak paham kalau mengambil atau merusak fasilitas publik, meskipun sebagian ada yang didanai oleh APBN atau APBD hasil pengumpulan pajak dari dompet masyakat, juga tidak bisa dibenarkan karena seratus persen salah? Pasti tahu jugalah... tapi kok masih terus dilakukan ya, hanya berganti lokasi, pelaku, dan jenis barang yang diembat?
Entahlah ... tapi mungkin perkataan yang pernah saya baca dalam Alkitab bisa menjawab pertanyaan ini, yakni bahwa sejatinya iman tanpa perbuatan adalah mati. Seseorang boleh mengaku beriman, hidup saleh dan benar, bahkan mengubah penampilan fisik atau cara berpakaian supaya terlihat "agamis", tapi jika dalam keseharian perilakunya berbeda dari apa yang seharusnya diajarkan oleh keyakinan yang dianutnya ... jangan-jangan sebenarnya iman itu pada hakekatnya sudah mati?
Jika sudah begitu, bagaimana cara mengubahnya? Tak ada jalan lain, kecuali berhenti berpura-pura beriman, tapi mulailah menghidupi iman itu dalam tindakan nyata. Kiranya tulisan penutup bulan Juli 2024 ini bisa menjadi perenungan bagi kita semua, termasuk saya tentunya.
Begitulah kura-kura...