Umum

Miris! Angka Kemiskinan di Bekasi Naik 37 Persen, tapi 2 Walikotanya Malah Sibuk Korupsi .

Fery Padli 2 years ago 1.1k

Bekasi merupakan salah satu kota yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Kota ini berbatasan langsung dengan ibukota negara, DKI Jakarta. Sehingga banyak dilirik kaum urban.

Banyak kawasan industri di sini.

Di samping itu, tentu punya stadion yang sangat megah yakni Stadion Patriot Chandrabhaga. Stadion kebanggaan warga Bekasi ini mampu menampung 30 ribu lebih penonton.

Namun dengan segala kelebihannya itu, ternyata Bekasi menyimpan duka yang mendalam. Pasalnya angka kemiskinan di sana naik 37 persen pada 2020 lalu.

Kenaikan ini tidak lepas dari adanya wabah Kovid yang melanda Indonesia.

Ternyata virus Korona itu tidak hanya mengancam kesehatan saja tapi juga memberi dampak buruk kepada ekonomi masyarakat.

Dengan kondisi seperti itu, sudah seharusnya kepala daerah bekerja lebih keras lagi dalam mengurangi angka kemiskinan tersebut. Bahkan, bila perlu merogoh kocek pribadi demi membantu warga yang tidak punya uang untuk beli makan.

Dan mirisnya, yang terjadi di Bekasi justru sebaliknya, yakni kepala daerahnya berlomba-lomba korupsi. Yang ujungnya ditangkap KPK.

Baru-baru ini Walikota Bekasi Rahmat Effendi yang dicyduk oleh lembaga anti rasuah itu. Rahmat terbukti menerima suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di lingkungan Pemkot Bekasi tahun 2022.

Tidak tanggung-tanggung, Rp 5,7 miliar berhasil diamankan oleh KPK sebagai barang bukti.

Saat ini kader Golkar tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan KPK.

Padahal kala itu Bang Pepen sudah diingatkan lho agar gak usah bermain lelang jabatan lagi di Pemkot Bekasi. Karena ia sudah diintai KPK sejak Juni 2021 lalu.

Tapi dasar manusia bebal. Kalau sudah melihat duit jadi lupa diri. Akhirnya, belum juga sempat menikmati pitih hasil korupsi tersebut, keburuh dicyduk KPK duluan.

Padahal Rahmat Effendi ini sudah kayak Anies saja lho. Banjir penghargaan.

Ia pernah dapat piagam penghargaan dari KomnasHAM (2017) karena dianggap berperan dan berkomitmen tinggi dalam melindungi dan menjamin hak atas kebebasan beragama.

Kemudian, pada 2020 lalu Rahmat menerima penghargaan dari Perkumpulan Wartawan Kristiani Indonesia (Perwanki). Ia didaulat sebagai tokoh toleransi 2020.

Di samping itu, Kota Bekasi dibawah kepemimpinannya juga mendapatkan penghargaan dari Indonesia Institute for Public Governance sebagai pemerintah daerah dengan kinerja dan tata kota yang baik.

Pertanyaannya, bagaimana bisa pemerintahannya mendapatkan predikat tata kota yang baik kalau kepala daerahnya saja korup?

Hal ini semakin menguatkan pernyataan Rudi Valinka bahwa memang ada kepala daerah yang minim prestasi. Sehingga demi pencitraan ia rela membeli penghargaan.

Tidak hanya Bang Pepen seorang lho yang tercyduk, Walikota Bekasi sebelumnya Mochtar Mohammad juga pernah ditangkap aparat penegak hukum.

Kasus yang menjerat si Mochtar ini tidak tanggung-tanggung. Empat sekaligus. Suap piala Adipura, penyalahgunaan APBD Kota Bekasi, menyuap oknum pegawai BPK serta menyalahgunakan anggaran makan minum yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 5,5 miliar.

Koplaknya, dengan kasus yang menjerat sebanyak itu, ia divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Kota Bandung.

Jadi bisa dibilang si Mochtar ini layak dapat rekor MURI sebagai orang Indonesia pertama yang terdakwa korupsi tapi divonis bebas murni oleh Pengadilan Tipikor.

Untung hakim MA karakternya gak seperti hakim Pengadilan Tipikor Kota Bandung tersebut. Sehingga di tingkat kasasi, putusan Pengadilan Tipikor dibatalkan. Lalu majelis hakim MA memvonis Mochtar 6 tahun penjara.

Lumayan 6 tahun. Meskipun vonis itu masih dibilang cukup ringan. Mengingat kasus yang menjeratnya begitu banyak. Tapi daripada bebas. Lebih baik itu.

Kalau seandainya Mochtar divonis bebas benaran, bisa saja nanti para kepala daerah lain atau pejabat dari daerah berbondong-bondong datang ke rumahnya. Minta resep bagaimana caranya korupsi tapi tidak masuk penjara.

Lantas, apa yang menjadi penyebab para kepala daerah itu korupsi?

Salah satunya adalah karena ongkos politik yang sangat tinggi. Bahkan beberapa calon kepala daerah ada yang sampai menyogok masyarakat segala agar dipilih.

Terakhir, ketika dia (Cakada pemberi suap) terpilih, tentu tidak ada rasa tanggung jawab lagi terhadap masyarakat yang telah memilihnya tersebut. Karena suara mereka sudah dibeli kok.

Kura-kura yang ada dipikirannya, bagaimana caranya balik modal dan mendapatkan untung sebesar-besarnya dari menjadi kepala daerah tersebut.