Umum

Mengapa Pilpres Curang Harus Bersama Jokowi?.

Dahono Prasetyo 3 months ago 9.0

Cara efektif melumpuhkan jeratan kaki tangan gurita adalah dengan membuat tentakelnya saling berbelit sendiri

Peribahasa di atas sedikit menggambarkan situasi kekacauan yang terjadi di negeri ini. Suksesi kepemimpinan tidak berdiri sendiri, namun akumulasi sejumlah rangkaian strategi sejak beberapa waktu.

Suksesi 2019 yang melahirkan periode kedua kepemimpinan Jokowi menyimpan agenda untuk 2024. Lingkaran gurita oligarki orde baru butuh reborn setelah 4 periode ikut berkuasa namun tidak leluasa.

Sebut saja partai Golkar yang menjadi kesalahan langkah sejarah reformasi saat sukses menjatuhkan Soeharto, namun tidak dengan partai beringinnya. Partai dengan ideologi liberal kemudian membelah diri menjadi beberapa partai yang membesar dengan kekuatan jaringan oligarkinya.

Gerindra, Nasdem dan Demokrat lahir dari rahim konvensi partai Golkar pasca reformasi. Para pendiri dan ketua umumnya pernah merasakan berjas kuning, duduk bersama dalam satu meja. Begitu pula Hanura dan Perindo.

Sementara PKB semenjak dikudeta Cak Imin menjadi partai berbasis Islam yang berkiblat liberal, tak beda dengan PAN dan PPP menjadi partai berbasis Islam modern, yang mengakselerasi kebebasan berpolitik mengikuti arah bandul kekuasaan.

Praktis hanya menyisakan 2 partai yang benar-benar berpegang pada perjuangan ideologi, yaitu PDI Perjuangan dan PKS.

Jaringan lintas partai berinduk Golkar kini sedang berebut kursi kepemimpinan 2024 yang ditinggalkan Jokowi dari PDI Perjuangan. Melalui berbagai jebakan visi dan kebijakan menjadi awal strategi menjauhkan Jokowi dari PDI Perjuangan pada periode kedua masa jabatannya.

Sebut saja UU Omnibus law, UU KPK, UU Minerba dan proyek-proyek hilirisasi. Nyaris semua regulasi dibuat dengan keberpihakan pada prinsip investasi dan kapitalism.

Jokowi meninggalkan prinsip kerakyatan PDI Perjuangan dengan alibi menolak menjadi petugas partai

Kini Jokowi dengan tingkat kepuasan rakyat pada posisi tertinggi berada satu gerbong dengan partai kaki tangan gurita Golkar. Jokowi, Prabowo dan Gibran pada akhirnya hanya menjadi agen kepentingan Neo Orba dalam kemasan nasionalis, bukan lagi kerakyatan. Sementara gerbong pada paslon Anies Cak Imin yang dimanage Nasdem menjadi skenario memecah dukungan massa berbasis ideologis militan pada PDI Perjuangan dan PKS agar tidak bersatu.

Nasionalisme didefinisikan sebagai cara bangsa maju dan berkembang dengan cara memperlakukan sumber daya alam sebagai komoditas, bukan lagi sebagai asset. Bagaimana menjual SDA semahal-mahalnya untuk mensejahterakan rakyat, namun tidak pernah berpikir tentang kemandirian.

Sumber daya manusia dianggap sebagai tenaga kerja, bukan penciptaan asset generasi yang berdaulat kemampuan berdikari di negeri sendiri. Guyuran subsidi yang semakin besar menjadi indikasi penting bahwa rakyat cukup dibuat kenyang, tapi tidak boleh pintar apalagi mandiri.

Koalisi besar di kubu Prabowo yang didukung Jokowi pada awalnya diprediksi menguasai mesin dan infrastruktur politik Pemilu, pada perkembangannya mengalami pergolakan ego. Menempuh berbagai cara untuk menang justru melahirkan kekacauan sosial. Tentakel gurita yang seharusnya menyebar melilit banyak hal, kini justru sedang terbelit berkait tak bisa bergerak dan saling menyalahkan.

Masyarakat semakin paham agenda menghalalkan segala cara untuk menang satu putaran bukan ide besar Jokowi. Melawan Ganjar yang teguh pada pendekatan emosional dan rasional membuat arah dukungan nasional tidak bisa dipungkiri berbalik kemudi.

Simpan dulu hasil rilis survey yang berubah-ubah tiap minggu. Lihat deretan blunder-blunder strategi Jokowi demi memenangkan Prabowo dan gerbong neo Orba. Entah satu atau dua putaran, Ganjar hanya bisa dikalahkan oleh kecurangan massif panitia Pemilu yang sudah tersandera oleh cawe cawe Jokowi.

Mari kita bersikap

Lawan kecurangan, atau membiarkan orang yang berpura-pura baik berkuasa.