Sport

Sudah Ada Mahaguru, Kenapa MU Masih Begitu?.

DHEKO 2 years ago 268.0

Terakhir Manchester United kalah dari sang tamu, Wolverhampton Wanderers, dengan skor tipis, 0-1. Lima laga sebelumnya di bawah manajer interim, Ralf Rangnick, Setan merah berhasil menang 3 kali dan 2 kali imbang.

Tiga kemenangan yang dibukukan itu juga tidak bisa dikatakan istimewa mengingat kelas lawan-lawan yang dijalankannya itu juga bukanlah tim elit. Ketiganya adalah langganan tim papan bawah.

Sementara hasil imbang dan kekalahannya pertamanya di bawah Rangnick, juga idem, saat menghadapi tim yang secara kelas seharusnya juga di bawah MU. Hal tersebut mau tak mau mendatangkan kekecewaan bagi sebagian pecinta MU.

Padahal hal tersebut seharusnya tidak perlu dilakukan. Karena jelas, saat ini MU sedang berusaha meniti era baru. Membuka diri menyesuaikan zaman, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu era Sir Alex Ferguson.

Sebagaimana layaknya sebuah proses perubahan, tentu akan mendapatkan sikap keberatan, penolakan, atau bahkan antipati dari elemen-elemen klub sebelumnya. Agaknya itulah yang tengah dihadapi Rangnick di MU saat ini.

Sistem yang dibawa Ralf Rangnick, sebagaimana diketahui mutlak memerlukan kerjasama tim. Para pemain hanya bermain untuk tim. Bukan bermain untuk dirinya sendiri, bahkan sebintang apapun dia.

Untuk itu profesionalisme yang tinggi mutlak menjadi tuntutan Rangnick pada para pemainnya. Ego pemain baginya harus di bawah tim, di bawah nama klub.

Kurangnya profesionalisme dari sebagian pemain MU kini sepertinya yang sedang dihadapi oleh Rangnick. Karena agak aneh ketika pemain mengungkapkan masalahnya atau masalah internal klubnya keluar atau ke media. Ketika mereka curhat soal latihan yang menurutnya terlalu berat, itu juga wujud ketidakprofesionalan lainnya.

Dengan itu seharusnya pecinta MU senang karena pada akhirnya mereka bisa menilai para pemain yang bermain untuk klub kesayangannya tersebut. Mereka bisa memilah dan memilih, siapa yang bermain untuk klub dan suporter sejati --pihak yang membayar mereka, dan siapa yang bermain demi egonya sendiri.

Seharusnya mereka bisa berkaca pada pemain senior dan berpengalaman seperti Cristiano Ronaldo dan Edinson Cavani. Bagi pemain sekaliber mereka, ketika tidak perlu lagi membuktikan apapun dan pengakuan lagi, terbukti mereka tidak mengeluh ketika dicadangkan atau ketika mereka diharuskan mengikuti sistem baru yang dibawa si pelatih.

Mungkin gestur tidak nyaman terlihat dari Cristiano Ronaldo belakangan ini, tapi siapapun tahu itu dilakukannya ketika ada yang tidak beres berjalan dalam tim saat bertanding. Sebagai pemain depan, dia kurang mendapat dukungan. Sistem ala Rangnick yang mengharuskan dua pemain sayap sebagai penyuplai, malah terkesan egois ingin mencetak gol daripada memberi umpan. Belum lagi melihat rekan-rekannya yang sering salah umpan dan kurang pressing.

Salah umpan dan salah pressing, iya, menunjukkan bahwa itu bukanlah salah Rangnick ketika kapabilitasnya mulai dipertanyakan. Betul, melihat perkembangan MU dari enam pertandingan terakhir, banyak yang kemudian mempertanyakan kemampuan pelatih asal Jerman tersebut. Karena sudah sejak awal Rangnick menekankan pentingnya akurasi umpan dan determinasi dalam menekan lawan yang menguasai bola, jadi jelas Rangnick dalam posisi yang benar.

Memang penunjukan Ralf Rangnick mendatangkan euforia yang besar di kalangan Man United. Rekam jejak Rangnick, terutama ketika disangkut-pautkan dengan Thomas Tuchel dan Jurgen Klopp yang sukses dengan masing-masing klubnya, memang pantas menghadirkan euforia itu. Ralf Rangnick sang mahaguru.

Tapi jelas Rangnick bukanlah orang dengan tongkat Harry Potter. Semuanya harus berproses dan berprogres selangkah demi selangkah. Ditambah dengan kenyataan bahwa Rangnick hanya akan menangani tim sebagai pelatih selama enam bulan, itu menunjukkan tujuan klub yang sebenarnya. Klub yang sedang mendefinisikan ulang dirinya sesuai dengan masanya.

Dan yang penting, saat ini para pemain MU ini sedang diaudisi ulang secara langsung. Jangan heran kalau di akhir musim nanti, banyak yang akan terpental.

Dengan hanya enam bulan sebagai pelatih dan berikutnya dua tahun sebagai konsultan, itu menunjukkan potensi Rangnick yang sebenarnya, yaitu sebagai kreator dan konseptor. Rangnick akan membuat konsep bagaimana MU bermain sekaligus mengkreasi pemain yang bisa bermain dalam sistem tersebut melalui hasil akademi maupun yang dibeli.

Nah tentunya hasilnya tidak akan cepat. Klasemen akhir di musim inipun nanti tidak bisa dijadikan satu-satunya bukti hasil kerja Rangnick. Sepanjang dia bisa membuat pemain MU menunjukkan etos kerja tinggi dan selalu bermain untuk tim, terlepas apapun hasilnya --menang atau kalah, Rangnick tetap harus diapresiasi dan MU sudah berjalan di jalur yang tepat.

Lalu kapan juara?

Bolehlah berharap di dua atau tiga musim mendatang, dengan "S dan K berlaku".