Sport

Sepakbola Indonesia Darurat Financial Fair Play.

Hardiyanto 3 months ago 2.0

Sudah jatuh masih harus tertimpa tangga pula. Sepertinya ungkapan itu yang layak untuk menggambarkan situasi pemain sepakbola Shahar Ginanjar dan rekan-rekannya. Sudah gaji belum dibayar pihak manajemen klub dan jadi terlapor kasus pencemaran nama baik, yang terakhir mereka terancam sanksi dari PSSI akibat WO dalam laga play off Pegadaian Liga 2 melawan PSCS Cilacap. Kata apes bahkan tidak cukup untuk mewakili bagaimana nelangsanya Shahar Ginanjar cs.

Situasi unik ini bukanlah hal baru di sepakbola Indonesia, meski sebelumnya tidak seekstrem sekarang yang berujung pada laporan polisi. Gaji tertunggak, pemecatan sepihak dan kompensasi minimalis selalu menjadi cerita yang mengiringi setiap musim liga Indonesia. Ini menunjukkan masih kurang profesionalnya sebagian manajemen klub di tanah air. Banyak klub tidak memiliki perencanaan finansial yang jelas, berapa pendapatan dan berapa pengeluaran. Akibatnya klub sering kebahisan bensin di tengah musim dan ujung-ujungnya gaji tertunggak. Itu menjadi cerita yang berulang setiap musim, hanya klubnya saja yang berganti-ganti. Ironisnya pemain selalu berada pada posisi yang kurang menguntungkan.

Masalah ini kabarnya bahkan sudah sampai ke telinga FIFPro, organisasi yang menaungi pesepakbola profesional di seluruh dunia. Dalam statement resminya, FIFPro bahkan menuntut PSSI untuk segera turun tangan menyelesaikan tunggakan gaji tersebut. PSSI pun mesti waspada jika masalah ini sampai ke ke meja FIFA karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, FIFA akan membela pemain dan memberikan sanksi kepada klub melalui PSSI. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kredibiltas PSSI dalam mengelola sepakbola dipastikan menurun karena hal-hal yang sebenarnya remeh, namun selalu berulang dari tahun ke tahun.

Langkah perbaikan harus segera dilakukan PSSI dan PT. LIB selaku operator liga agar masalah tunggakan gaji ini tidak terus terjadi. Bagaimana mau disebut profesional jika gaji pemain saja tidak dibayar. Aturan ketat terkait finansial klub wajib diterapkan bagi seluruh klub Liga 1 dan Liga 2. Beberapa alternatif bisa diterapkan. Yang pertama penggunaan bank garansi sebagai syarat mengikuti kompetisi dimana setiap klub Liga 1 dan Liga 2 wajib menyetorkan bank garansi sejumlah tertentu. Jika ditengah kompetisi klub mengalami kesulitan finansial, bank garansi ini bisa dicairkan namun dengan konsekuensi pengurangan poin di klasemen akhir liga. Alternatif kedua yaitu penerapan salary cap serupa aturan di liga profesional Amerika Serikat. Disana dibuat aturan batas atas dan batas bawah gaji pemain sepakbola yang tidak boleh dilanggar. Pengecualian dibuat untuk pemain dengan status marquee player seperti Beckham atau Messi, namun diikuti dengan pengawasan yang ketat oleh operator liga. Alternatif ketiga yaitu penerapan budgeting cap, dimana masing-masing klub mendapat batasan maksimal untuk pengeluaran gaji pemain. Jika batasan ini terlewati, klub bisa mendapat sanksi berupa embargo transfer. Aturan ini sukses diterapkan di La Liga dan kita semua tahu Barcelona bahkan menjadi korban aturan ini.

Melihat situasi saat ini, penerapan bank garansi bisa menjadi opsi utama karena paling mudah diterapkan. Baik salary cap atau budgeting cap membutuhkan pengawasan ketat dan tentunya perencanaan keuangan yang jelas oleh klub. Masalahnya klub Liga 1 dan Liga 2 masih jauh dari baik soal perencanaan finansial. PSSI bisa berkaca pada federasi sepakbola Jepang untuk penerapan lisensi profesional. Dulu ketika J-League dimulai tahun 1992 hanya diikuti oleh 8 klub saja, karena hanya itu klub yang layak disebut profesional. Baru setelah itu mulai bertambah sedikit demi sedikit. JFA sangat ketat dalam memberikan lisensi profesional. Klub yang tidak bisa memenuhi kriteria tidak dipaksakan ikut kompetisi pro. Hasilnya bisa kita lihat saat ini dimana semua klub J1 dan J2 League lolos verifikasi AFC dan mendapat lisensi profesional. Berbanding terbalik dengan liga Indonesia dimana hanya 7 klub yang lolos verifikasi AFC. Sungguh ironi mengingat J-League dulunya berguru pada Galatama, dan kini murid bahkan sudah jauh meninggalkan sang guru.