Sport

Peliknya Mengelola Liga Sepakbola Indonesia.

Hardiyanto a year ago 83.0

Setelah kompetisi liga usai, bukan berarti beban pekerjaan pak ET selaku ketua umum PSSI berkurang. Bukannya fokus menyiapkan musim depan, ET justru menemukan masalah yang tidak kalah pelik. Dimulai dari tidak adanya hadiah uang untuk juara liga, kemudian muncul kabar jika ada honor wasit yang belum terbayarkan, sampai kewajiban bagi peserta kompetisi EPA yang belum terselesaikan sepenuhnya. Nilainya tidak main-main, mencapai milyaran rupiah. Hal ini tentu memancing kecurigaan dari masyarakat tentang bagaimana PT. LIB dan PSSI mengelola keuangan. Muncul pertanyaan terkait transparansi soal aliran uang keluar dan masuk rekening PSSI.

Sebenarnya hal ini bukanlah berita baru jika kita melihat sejarah bagaimana pengelolaan kompetisi sepakbola Indonesia sejak dulu. PSSI dan operator kompetisi tidak pernah secara terbuka melaporkan keuangan mereka kepada publik. Bahkan permintaan melalui KIP pun ditolak mentah-mentah meski PSSI termasuk lembaga penerima dana bantuan APBN. Para pengelola liga dan pengurus PSSI secara gamblang mengatakan jika mereka tidak memiliki kewajiban untuk membuka laporan keuangan kepada publik. Satu-satunya kewajiban mereka adalah membuka laporan keuangan pada forum kongres tahunan PSSI.

Sejauh ini memang tidak jelas berapa total pendapatan PT. LIB yang didapatkan dari sponsor liga maupun hak siar televisi. Namun ada sebuah artikel yang menuliskan jika pendapatan sponsor dan hak siar mencapai Rp370 milyar per musimnya. Rinciannya sebesar Rp220 milyar berupa hak siar dan Rp150 milyar pembayaran sponsor liga. Jika memang angka itu benar bisa dikatakan pendapatan PT. LIB termasuk besar. Namun lagi-lagi tidak ada konfirmasi tentang kebenaran hal tersebut. Masalah berikutnya muncul tentang pengeluaran yang bersumber dari uang-uang tersebut. Hanya satu yang pasti yaitu subsidi yang diterima klub sebesar Rp550 juta, yang jika ditotal hanya sebesar Rp9,9 milyar. Artinya masih ada Rp360 milyar yang tidak diketahui kemana larinya uang tersebut. Lagi-lagi karena PT. LIB dan PSSI tidak pernah terbuka tentang berapa pengeluaran untuk honor perangkat pertandingan, operasional PT. LIB serta berapa subsidi silang untuk Liga 2.

Langkah tegas sudah diambil oleh ET untuk memperbaiki situasi ini. Kantor akuntan public Ernst & Young digandeng untuk mengaudit keuangan PT. LIB dan PSSI. Sekjen PSSI diminta bekerjasama penuh agar audit bisa dilakukan dengan baik. Semua dokumen terkait aliran keluar masuk keuangan dibuka terang benderang. Namun langkah itu saja tidak cukup. Transparansi keuangan harus dilakukan secara konsisten kepada publik. Kita tentu bisa melihat bagaimana Premier League mengelola kompetisi tertinggi sepakbola Inggris. Operator liga secara transparan membuka laporan keuangan mereka. Publik bisa dengan mudah mengetahui berapa pemasukan mereka dari hak siar dan kesepakatan komersial lainnya. Kemudian juga publik bisa melihat secara jelas berapa pengeluaran untuk hak komersial klub. Ini berimbas pada naiknya profil Premier League yang berdampak pada banyaknya pihak yang menawarkan kesepakatan komersial dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan klub peserta EPL.

Langkah kedua yang mesti dilakukan adalah perubahan skema pembagian uang kepada klub. Lagi-lagi jika mencontoh Premier League, 50-60 persen pendapatan komersial dan hak siar dibagikan kepada klub. Saat ini klub mendapatkan subsidi sebesar Rp550 juta per musim. Dengan pendapatan PT. LIB mencapai Rp370 milyar, setiap klub seharusnya mendapatkan Rp5 milyar per musim sebagai dana subsidi. Ini akan berdampak pada naiknya kualitas pemain yang bisa didapatkan klub dan naiknya kualitas liga Indonesia secara umum. Sebagai pecinta bola di tanah air, kita tentu mendukung semua langkah perbaikan yang dilakukan rezim penguasa PSSI saat ini. Ini demi perbaikan sepakbola Indonesia menuju arah yang lebih baik.