Sport

Menguak Kebobrokan Model Keuangan Tim-Tim Top Eropa.

Hardiyanto a year ago 202.0

Sebuah kabar mengejutkan datang dari tanah Britania. Manchester City diumumkan oleh FA telah melakukan setidaknya 100 pelanggaran finansial selama 9 tahun (2009-2018). Kabar ini tentu menggemparkan karena terjadi dalam kurun waktu dimana The Citizen mendominasi EPL. Pengumuman dilakukan oleh FA setelah melakukan investigasi selama 4 tahun terakhir. The Citizen didakwa menggelembungkan nilai sponsor untuk mengakali aturan FFP. Cara licik harus dilakukan Man. City karena injeksi dana secara langsung dari pemilik dilarang dalam koridor FFP. Akhirnya sponsorship menjadi cara Man. City mengakalinya. Kebetulan sponsor Man. City juga dimiliki oleh big boss dari The Citizen. Setidaknya itulah yang diungkap oleh FA. Sidang akan dilakukan dalam waktu dekat oleh FA. Man. City tentu terancam hukuman mulai dari denda, pengurangan poin hingga yang paling berat diusir dari Premier League.

Kasus yang menimpa Man. City menjadi kasus kesekian kalinya di Eropa yang menyangkut aspek finansial. Sebelumnya kita mendengar bagaimana Barcelona dengan penarikan tuas ekonomi serta Juventus dengan kasus plusvalenza.. Untuk Juventus sendiri masih harus menghadapi tuntutan terkait penipuan laporan keuangan dimana klub melaporkan pemotongan gaji pemain selama 3 bulan. Namun kenyataannya klub hanya memotong gaji selama 1 bulan, sedangkan 2 bulan sisa akan dibayarkan dalam bentuk bonus. Hal ini secara tidak langsung membuat laporan keuangan Juventus terlihat lebih baik dan sehat. Tentunya masih banyak lagi permasalahan finansial yang mendera tim sepakbola Eropa, khususnya semenjak pandemi covid melanda. Untuk kasus plusvalenza misalnya, nama-nama seperti AC Milan dan Napoli masih harus menghadapi sidang.

Apa yang terjadi pada klub-klub Eropa seperti menggambarkan betapa rapuhnya model finansial di level elit sepakbola benua biru. Semenjak globalisasi bisnis sepakbola yang dimulai dekade 90an, sudah banyak perubahan yang terjadi. Klub dituntut untuk meraih sebanyak mungkin kesuksesan serta trofi yang muara akhirnya berdampak positif pada buku finansial klub. Namun tuntutan prestasi instan membuat klub melakukan segala cara agar mendapatkan apa yang mereka inginkan. Secara sederhana dapat disimpulkan berikut ini. Klub akan berhutang untuk membiayai transfer dan pengeluaran gaji pemain bintang. Jika klub tersebut sukses, dia akan kembali berhutang lebih besar untuk mempertahankan posisinya. Hal serupa juga akan dilakukan oleh klub yang gagal, dimana klub tersebut akan berhutang lebih besar untuk membeli lebih banyak pemain top untuk mengejar ketertinggalan. Begitulah seterusnya lingkaran tersebut akan terus berulang.

Jika membaca laporan Deloitte Football Money League serta melihat data dalam situs capology.com, maka kita bisa melihat lebih jelas lagi tentang kebobrokan model keuangan yang saat ini dijalankan oleh tim-tim top Eropa. Untuk contoh pertama mari kita bahas FC Barcelona. Klub asal Catalan ini terkenal karena penarikan tuas ekonomi hingga 4 kali. Ini harus dilakukan oleh El Barca karena salah urus aspek ekonomi dibawah rezim Bartomeu. Di bawah kendali Bartomeu, Barcelona memang sempat menjadi tim dengan pendapat nomor satu di dunia (2019 dan 2020) dan selalu bersaing dengan Real Madrid di posisi dua besar. Namun yang tidak disadari yaitu pengeluaran gaji Barcelona sangat besar. Selama Bartomeu berkuasa, pengeluaran gaji El Barca tidak pernah kurang dari €250 juta setiap tahunnya. Bahkan semenjak tahun 2018 menembus angka €300 juta. Bahkan di musim terakhir Messi berseragam Los Cules, Barcelona menghabiskan 58,39 persen pendapatannya untuk membayar gaji pemain. Hal inilah yang kemudian membuat Barcelona harus melepas banyak pemain bintangnya termasuk Messi agar bisa mendaftarkan pemain baru. Yang tidak kalah ironis, Barcelona masih belum melunasi gaji beberapa pemainnya seperti Frankie de Jong, Sergio Busquets, Jordi Alba dan Gerard Pique. Dan tidak belajar dari kesalahannya, Barcelona menggunakan uang hasil penarikan tuas ekonomi untuk membeli pemain mahal dan menggaji besar para bintangnya meski masih dililit utang €1,3 milyar.

Contoh kedua yang dibahas yaitu Juventus FC. Tim raksasa Italia ini pernah menjuarai Serie A 9 musim beruntun. Tim ini juga mencatatkan rekor transfer €90 juta untuk Gonzalo Higuain dan €117 juta untuk Cristiano Ronaldo. Namun saat ini Juventus sedang menghadapi tuntutan untuk kasus penipuan laporan keuangan setelah sebelumnya mendapat hukuman pengurangan 15 poin akibat kasus plusvalenza. Sama seperti Barcelona, Juventus juga mengelola finansialnya secara teledor. Kedatangan CR7 memang secara signifikan mendatangkan keuntungan dalam banyak hal. Angka penjualan tiket naik, nilai sponsor naik, penjualan merchandise naik dan profil Juventus ikut naik. Namun yang tidak disadari adalah naiknya pendapatan juga diikuti dengan naiknya pengeluaran tim. Untuk gaji pemain misalkan, sebelum masuknya CR7 Juventus hanya menghabiskan €140 juta per musimnya. Setelah masuknya CR7 angka itu bertambah menjadi €180 juta dan mencapai puncaknya di angka €216 juta (musim 2020-2021). Pandemi covid menjadi pemicu meledaknya permasalahan di tubuh Si Nyonya Tua. Turunnya pendapatan seiring dengan turunnya prestasi tim membuat masalah keuangan muncul ke permukaan. Ini yang menyebabkan Juventus melepas beberapa bintangnya di awal musim. Mode hemat Juventus masih akan terus dilakukan. Hukuman pengurangan 15 poin membuat langkah Juve lolos ke UCL musim depan menjadi mustahil. Turunnya angka pendapatan akan diimbangi dengan penyesuaian gaji pemain. Melepas pemain bergaji mahal menjadi solusi tercepat.

Gambaran diatas menjelaskan betapa buruknya model keuangan tim-tim top Eropa. Dan pandemi covid menyadarkan kita akan kerapuhan yang ada. Sejatinya tidak hanya Juventus dan Barcelona, namun masih ada nama-nama lain yang untungnya tidak memiliki situasi sepelik keduanya. Atletico Madrid, Inter Milan dan masih banyak lagi klub Eropa yang mengalami kendala finansial. Dan jika situasi tidak membaik bukan tidak mungkin mereka menyusul Juve dan Barca. Lalu bagaimana solusi untuk mengatasinya. Real Madrid menawarkan kompetisi bertajuk European Super League sebagai solusi bagi masalah finansial klub top Eropa. Klub peserta dijanjikan pendanaan hingga €300 juta per musimnya. Namun bagi saya ini bukan solusi yang baik. Dana sebesar itu bisa dipastikan akan membuat tim menjadi lebih serampangan dalam mengelola keuangan mereka. Dan bagi tim di luar peserta akan melakukan segala macam cara untuk mengejar ketertinggalan, termasuk berhutang kepada bank. Lingkaran setan tidak akan terputus dan justru akan menarik lebih banyak klub untuk terjerumus.

Hal yang lebih substansial yaitu merubah model keuangan yang dijalankan klub-klub top tersebut. Prinsipnya sederhana, klub dilarang menghabiskan uang lebih dari yang mampu mereka dapatkan. Klub diperkenankan memiliki hutang namun dengan rasio yang masuk akal jika dibandingkan dengan pendapatan tiap musimnya. Pembatasan gaji pemain layak diterapkan, meniru model salary cap yang dilakukan oleh kompetisi NBA. Napoli dan Ajax Amsterdam menjadi klub yang layak dicontoh. Tidak punya hutang, keuangan sehat dan prestasi tetap terjaga. Membeli pemain dengan harga murah atau mengembangkan talenta dari akademi, untuk kemudian dijual dengan harga tinggi demi keuntungan ekonomi adalah realita yang harus dijalani keduanya. Dan memang seharusnya itulah yang dilakukan oleh klub yang lainnya. Tanpa adanya perubahan dalam model pengelolaan klub, kita akan melihat lebih banyak klub terjerat masalah finansial. Dan sekali lagi ESL bukanlah jawaban yang substansial.