Sport

Bagaimana Kompetisi Ideal Bagi Sepakbola Indonesia (Membangun Sepakbola Indonesia Part-1).

Hardiyanto a year ago 36.0

Indonesia adalah sebuah negara besar di dunia jika dilihat dari berbagai aspek. Dari segi jumlah penduduk, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 di dunia. Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta, negara kita hanya kalah dari India, Tiongkok dan AS. Namun berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang besar, hingga kini Indonesia sangat sulit menciptakan atlet-atlet olahraga yang berkualitas. Kecuali bulutangkis dan angkat berat, atlet olahraga kita tidak masuk level dunia. Hal yang sama juga berlaku untuk cabang sepakbola. Di cabang olahraga nomor wahid sejagat ini prestasi kita benar-benar buruk. Di level ASEAN kita hanya pernah 2 kali meraih medali emas SEA Games dan masih nirgelar di ajang Piala AFF. Untuk level Asia lebih miris lagi. Capaian terbaik kita hanyalah satu kali menjadi semifinalis Asian Games. Untuk Piala Asia kita baru sebatas lolos ke putaran final, itu juga hanya 5 edisi. Di ajang dunia jangan ditanya. Satu-satunya kebanggaan hanyalah lolos ke Piala Dunia 1934 ketika masih bernama Hindia Belanda. Tidak heran jika muncul olok-olok “apakah sulit mencari 23 orang pemain bola yang bagus dari 270 juta penduduk”.

Tidak mengherankan jika prestasi sepakbola kita masih gitu-gitu aja mengingat PSSI sejauh ini belum bisa mengelola sepakbola dengan sangat baik. Salah satu faktor pendukung kemajuan sepakbola adalah kompetisi liga yang baik. Itu bisa kita lihat dari negara-negara top macam Inggris, Italia, Prancis, Jerman, Brasil, Argentina dan masih banyak lagi. Dan kalau itu masih terlalu tinggi, kita bisa melihat negara seperti Jepang, Korea Selatan, atau Qatar. Contoh terdekat pun ada, yaitu Thailand. Negara tetangga kita di utara itu sukses mengelola liganya dengan profesional dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Thai League menjadi liga sepakbola nomor 1 di ASEAN dan itu berdampak pada prestasi timnas Thailand. Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana tim Gajah Perang menjuarai Piala AFF 2023 hanya mengandalkan pemain yang berlaga di liga lokal.

Kembali ke sepakbola Indonesia, sejatinya kita punya kompetisi dengan sejarah panjang. Dulu kita punya kompetisi perserikatan yang berlangsung sejak tahun 1950an hingga 1990an. Kemudian ada liga semipro Galatama yang dihelat sejak tahun 1970an hingga penyatuan kompetisi di pertengahan 90an. Di tahun 1994 kemudian tercipta sejarah baru dengan penggabungan Galatama dengan perserikatan dan masuklah kita ke era liga Indonesia. Namun mesti diakui bahwa sejak itu kompetisi kita mundur teratur yang berakibat pada penurunan prestasi timnas. Format kompetisi yang terus berubah, masalah pendanaan klub, slot pemain asing serta masih banyak hal lainnya terus menjadi masalah. Kita pernah menjalani format kompetisi 2 wilayah, 3 wilayah dan yang terakhir adalah 1 wilayah. Namun bukannya semakin baik, tapi justru makin buruk. Yang terbaru bahkan munculnya noda hitam tragedi Kanjuruhan yang sempat membuat Liga 1 berhenti sesaat dan Liga 2 dan Liga 3 yang masih terhenti hingga kini. Lalu bagaimana kita membangun kompetisi yang ideal. Penjelasan dibawah ini mungkin bisa menjadi masukan bagi rezim Erick Thohir yang baru terpilih dalam KLB kamis lalu.

Format Liga

Harus diakui kita masih belum menemukan format liga yang ideal meski format satu wilayah sudah kita adopsi lebih dari sedekade belakangan. Masalahnya kita sulit mengatur jadwal liga yang ideal. Kondisi geografis yang luas, jumlah klub yang cukup banyak hingga kurangnya sistem transportasi antar wilayah menjadi kendala. Jika kita menggelar laga satu minggu sekali seperti di Eropa akan menjadi tidak efisien dalam hal pendanaan karena biaya tandang akan membengkak. Belum lagi kita harus memperhitungkan kalender FIFA matchday, bulan Ramadhan dan tradisi lebaran, serta banyaknya event yang akan memangkas waktu efektif penyelenggaraan liga. Untuk liga level bawah, masalah jauh lebih pelik. Namun perdebatan utama menurut saya adalah kurangnya frekuensi pertandingan yang artinya membuat jam terbang pemain kurang dari kata ideal. Jika boleh memberikan masukan, saya menyarankan piramida kompetisi sebagai berikut :

Liga Utama, terdiri dari :

Regional Liga, terdiri dari :

Menurut saya pembagian liga diatas cukup ideal karena jumlah klub peserta Liga 1 sampai Liga 3 saat ini lebih dari 600 tim. Format diatas juga ideal jika kita mempertimbangkan waktu penyelenggaraan liga, kondisi geografis wilayah serta jumlah minimal laga yang dijalani oleh masing-masing tim. Format kompetisi diatas juga akan memberdayakan semua stake holder di PSSI. Liga utama akan dihandle oleh PT LIB, Regional Liga 1 (A dan B) di bawah kendali Badan Liga Amatir PSSI, sedangkan Regional Liga 2 akan menjadi kewenangan Asprov.

Aspek Finansial

Harus diakui aspek finansial ini menjadi salah satu faktor penting keberlangsungan liga. Bukan rahasia banyak tim tidak memiliki kondisi finansial mumpuni. Ada banyak faktor penyebabnya, mulai dari manajemen yang kurang rapi, rendanhnya nilai komersial klub dan minimnya jumlah laga kandang yang berakibat minimnya pemasukan dari tiket. Terkait aspek finansial ini ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, yaitu :

  1. Setiap tim yang berlaga di liga utama wajib memberikan bank garansi dengan nilai yang bervariasi. Untuk tim Liga 1 Rp5 M, untuk tim Liga 2 Rp3 M dan untuk tim Liga 3 Rp1 M. Bank garansi ini akan digunakan untuk membayar kewajiban klub jika klub tersebut mengalami masalah finansial di tengah kompetisi. Dan sebagai langkah pencegahan agar klub tidak seenaknya menggunakan bank garansi, setiap pencairan bank garansi akan berdampak hukuman pada klub berupa pengurangan poin pada musim berjalan. Aturan ini dibuat agar klub berhati-hati dalam mengelola finansial mereka.

  2. Setiap awal musim, setiap klub harus mempresentasikan proyeksi keuangan mereka di hadapan pengelola liga. Pengurus klub wajib menjelaskan dari mana saja potensi pendapatan dan pengeluaran klub serta penggunaannya. Presentasi ini juga harus mempertimbangkan rasionalitas angka proyeksi keuangan dengan laporan keuangan klub musim sebelumnya. Jika proyeksi keuangan dianggap tidak rasional, pengelola liga harus menolaknya dan memberikan assessment berdasarkan laporan keuangan klub musim sebelumnya. Jika hal itu terjadi, maka klub mendapatkan hukuman berupa pengurangan slot pemain asing yang bisa didaftarkan.

  3. Sebagai bentuk transparansi pengelolaan keuangan, klub wajib memberikan laporan keuangan kepada pengelola liga. Dengan demikian dapat diketahui kesehatan finansial sebuah klub, nilai komersial sebuah klub dan tentunya sebagai dasar assessment keuangan pada poin 2 sebelumnya.

Infrastruktur Klub

Terjadinya tragedi Kanjuruhan menyadarkan kita tentang minimnya infrastruktur berkualitas yang dimiliki oleh klub. Dan juga harus diakui masih sedikit klub yang memiliki fasilitas training centre sendiri. Terkait masalah ini, PSSI bisa bekerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk penyediaan stadion yang memenuhi standar. PSSI bersama dengan Kementerian PUPR menyediakan pedoman atau panduan tentang hal apa saja yang harus dimiliki stadion sepakbola. Untuk peserta Liga 1 stadion yang dipakai wajib full single seat, memiliki lapangan dan pencahayaan standar FIFA serta standar keamanan penuh. Untuk stadion Liga 2 dan 3 bisa menyesuaikan dengan standar Liga 1.

Sebenarnya masih ada beberapa hal lain yang mesti diperbaiki dalam kompetisi kita. Namun tiga hal diatas menurut saya sangat fundamental, sedangkan hal yang lain bisa menyesuaikan sambil berjalan. Jika ketiga hal diatas bisa kita jalankan secara konsisten, perlahan tapi pasti kompetisi kita akan membaik. Dan pada akhirnya prestasi sepakbola kita ikut meningkat. Pasti akan ada pro dan kontra terkait apa yang saya usulkan. Namun menurut saya sudah cukup ideal. Semuanya tentu demi kemajuan sepakbola nasional.