Sosbud

Jurus Kesambet Budayawan Emha Ainun Najib.

Bamswongsokarto a year ago 348.0

Ucapan Emha Ainun Najib (karena sudah tua, kita boleh sebut Mbah Cak Nun) menyebut Jokowi dengan sebutan “Firaun” yang nuansanya kental dengan penghinaan dan arahnya merendahkan martabat manusia sebagai sosok makhluk ciptaan Tuhan, merupakan kebat kliwatnya sifat Emha Ainun Najib yang sedikit banyak nyingkur (menentang) kehendak Tuhan.

Bisa diartikan, tindakan itu sebagai arogansi kemlinthinya seorang Cak Nun karena merasa dirinya telah dianggap oleh pengagumnya sebagai manusia mumpuni dalam agama, budaya, belum lagi sebutannya sebagai cendekiawan. Ini membuat Emha Ainun Najib kegedhen ndas, tergelincir keluar dari sifat kebudayawanannya, lantas tertanam embrio kesombongan “sopo siro sopo ingsun”.

Diakui memang, Emha Ainun Najib itu budayawan yang wawasan kebudayaanya membumi dan mudah merasuk dalam nalar, jiwa, dan sendi kehidupan. Setidaknya bisa menjadi referensi dalam setiap pembahasan dalam menguliti budaya. Tidak mengherankan jika banyak penyuka sastra dan budaya yang menganggap Emha Ainun Najib sebagai nol kilometernya budayawan Yogyakarta.

Karya-karyanya mampu menjadi arah visi budaya, yang terpaparkan dengan tanpa banyak catatan kaki (yang mengharuskan pecinta budaya disibukkan menemukan rujukan), karena bahasa tanpa tedheng aling-aling yang digunakan Emha Ainun Najib memudahkan “nalar dan konsep” bertemu seketika itu juga. Inilah daya digdayanya seorang budayawan Emha Ainun Najib dalam budaya.

Membolak-balik bukunya Sedang Tuhan pun Cemburu, dengan budaya kita diajak untuk melatih, mengasah naluri dan kehalusan budi kita di tengah gegap gempita zaman yang semakin penuh primitivitas dan kebinatangan. Entah apa yang dimaksud primitivitas dan kebinatangan oleh Cak Nun itu.

Menurut Emha Ainun Najib, budaya ialah tingkat-tingkat mutu ekspresi manusia. Bisa diartikan bagaimana seseorang mengekspresikan ketidaksukaannya terhadap orang lain itu adalah indikator kedewasaan budaya seseorang. Emha juga mengatakan proses-proses kualitatif ekspresi manusia yang menunjukkan kematangan budayanya. Intinya mengasah naluri memperhalus budi pekerti itu hal yang utama dalam menghadapi perkembangan zaman. Dan ekspresi seseorang itu merupakan indikator kualitas seseorang.

Paham ya. Kalau sampai tidak paham itu namanya sedang dalam tahap “kesambet”. Dan kalau ada seseorang yang sedang kesambet sebaiknya menyingkir jauh, kalau belum aman boleh sembunyi di bawah pohon Cendana. Daripada kecipratan buih-buih yang melepuhkan kewarasan nalar dan dan menyakitkan kehalusan budi.

Anggap saja Emha Ainun Najib yang menyebut presiden Jokowi sebagai Firaun, saat itu sedang meluapkan kemarahan kepada Jokowi, tetapi tidak dengan cara “miyayeni”. Dia lebih memilih pola ekspresi atraktif langsung tembak ngawur dan tidak kena sasaran.

Namun, yang mengherankan adalah tidak relevannya antara pola ekspresi ketidaksukaannya itu dengan paparan adab budaya “kehalusan budi” yang ada dalam Sedang Tuhan Pun Cemburu. Ini menarik untuk dikaji dari sisi kritik budaya.

Satu sisi dalam konsep budaya versinya, Emha Ainun Najib mengajak mengekspresikan budaya dengan kehalusan budi,. Sementara di sisi realitas peradaban manusia justru Emha Ainun Najib mengekspresikannya dengan kekasaran budi. Hal ini tentunya mengombang-ambingkan hakikat “halus-kasar” dalam budaya.

Sepertinya Cak Nun ini sedang menikmati kesambetnya. Dia sadar sedang kesambet tapi tidak berusaha segera keluar dari zona kesambet. Justru memanfaatkan kesambetnya untuk melampiaskan syahwat penghinaan kepada Presiden Joko Widodo, dan menyiprat-nyipratkan kesambetannya kepada orang lain.

Seandainya saja saat Cak Nun kesambet lantas ingat bukunya sendiri

Sedang Tuhan pun Cemburu, mungkin saja Cak Nun mampu mengendalikan tenaga amarahnya, mengendapkan inti permasalahan yang membuatnya marah itu, kemudian mengungkapkannya melalui cara-cara yang lebih halus.

Atau misalnya Cak Nun tertarik untuk berpolitik dan bernegara, bisa khan berdialog halus dengan Jokowi, merundingkan persoalan, dan bersama-sama mencari dan menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini. Presiden Joko Widodo tentu sangat senang jika ada budayawan, cendekiawan, sekaligus ulama yang berkenan berperan bersama-sama membangun bangsa ini.

Tapi sayang, Emha Ainun Najib lebih memilih tidak halus budi sebagai indikator kematangan budaya, melainkan memilih mengkambinghitamkan kata kesambet sebagai tunggangan mlipir-mlipir alus untuk menghindar.

Kita menghargai permohonan maaf Emha Ainun Najib atas kesambetnya itu, meskipun hanya untuk abang-abang lambe. Dan ini semakin memperjelas bahwa Emha Ainun Najib bukan sosok budayawan yang gentle dalam kehidupan sesungguhnya, yang menurutnya penuh primitivitas dan kebinatangan ini. Ataukah justru Emha Ainun Najib telah meleburkan diri ke dalamnya? Hanya Gusti Allah dan Emha Ainun Najib sendiri yang tahu.

Mengapa demikian? Karena jelas-jelas dalam pernyataannya yang viral menghina dengan menyebut nama Joko Widodo, Luhut B. Panjaitan, dan Anthony Salim, tetapi dalam permintaan maafnya tidak berani menyebut nama-nama itu. Malah nyasar minta maaf ke keluarganya dan yang kecipratan dengan dalih kesambet. Ini menandakan bahwa Emha Ainun Najib tidak mampu menggunakan masker budaya, meskipun dia budayawan.

Jika demikian kenyataannya, boleh dong kita bertanya kehalusan budi seperti apakah yang mengindikasikan taraf kedewasaan budaya yang selama ini dipahami oleh Emha Ainun Najib?

Dan tentu saja konsep ekspresi sebagai indikasi kedewasaan budaya yang ada di dalam buku esai Sedang Tuhan pun Cemburu bisa juga digunakan sebagai pengukur kedewasaan budaya Emha Ainun Najib sendiri.

Salam Budaya

Bamswongsokarto

(Penyuka Sastra dan Budaya yang Menolak Kesambet)

SumberSumber