Politik

Wahai JK, Kenapa Nyinyir Sama Keturunan Tionghoa? Mereka adalah "Kita".

Manuel 10 months ago 834.0

Beberapa hari ini saya baru tahu ada istilah cindo yang disematkan kepada orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa yang memang viral belakangan.

Kita juga tahu bahwa beberapa waktu yang lalu Jusuf Kalla yang merupakan mantan wakil Presiden melakukan pidato mengeluarkan statement yang cukup berbau-bau rasisme yang mengatakan bahwa orang keturunan Tionghoa di Indonesia jumlahnya hanya 4 sampai 5% tapi menguasai 50% perekonomian Indonesia.

Mari kita bahas satu persatu dan kita telanjangi satu persatu fakta-fakta yang terjadi dan sejarah kelam yang ada di belakangnya. Kenapa orang yang dianggap sebagai Cina di Indonesia memiliki penguasaan ekonomi sebanyak 50% lebih?

Apakah begitu saja muncul dan tidak ada fakta-fakta sejarah yang membentuknya? Tentu ada dan sangat kelam kalau kita mau katakan satu persatu. Untuk kita ketahui di era Soeharto orang keturunan Tionghoa di Indonesia dianggap sebagai PKI secara langsung dengan nama-namanya yang masing-masing katanya terdiri dari satu suku kata, memang menjadi ciri khas dari nama orang Cina daratan.

Misalnya adalah Li Chong Wei, Lin Dan, Wu Ling Tong, Tan Ek Tjoan, Ku Wei Pang, dan lain-lain. Dulu saya waktu kuliah di Jakarta tahu betul nama-nama itu hanyalah sebatas nama-nama panggilan bukan nama asli. Nama aslinya sudah melakukan merger terhadap nama-nama Jawa dan nama-nama Indonesia pada umumnya.

Sentimen Rasisme sudah ada sejak keputusan presiden yang mewajibkan orang-orang keturunan Tionghoa itu lepas dari kursi pemerintahan dan tidak boleh berpartisipasi terlalu banyak dalam pembangunan negara ini lewat pemerintah seperti menjadi ASN, tentara, polisi dan lain-lain.

Dan keputusan ini harus dipatuhi atau nanti dicari oleh Penembak Misterius yang disebut-sebut oleh orang-orang yang hidup di era Orde Baru sebagai tokoh setengah mitos dan setengah fakta. Maka Jalan satu-satunya bagi orang keturunan Tionghoa saat tahun 1960-an itu adalah menjadi pebisnis dan mereka syukurnya sukses.

Inilah yang menjadi cikal bakal kenapa orang-orang yang berketurunan Tionghoa yang saya temui memang pada umumnya bekerja sebagai pebisnis dan pedagang. Ada yang kaya ada yang biasa-biasa saja tapi ada juga yang miskin. Partisipasi mereka di dalam perguruan tinggi negeri juga sampai sekarang masih dirasakan kok.

Namun untuk mengurangi rasa curiga mereka menyembunyikannya lewat sistem-sistem yang seolah-olah sulit untuk kita cek transparansinya. Saya sebagai warga negara Indonesia, ingin mengajak kita bersama-sama untuk tidak termakan oleh statement kontroversial dari bapak Jusuf Kalla yang saat ini jelas banget mendukung Anies Baswedan atau Prabowo yang pasti bukan Ganjar Pranowo.

Karena Ganjar pranowo merangkul banyak banget orang-orang Indonesia secara luas tidak terkecuali orang-orang keturunan Tionghoa. Saya nggak tahu kenapa kalimat-kalimat Jusuf Kalla ini cenderung mendiskreditkan orang-orang Tionghoa Padahal mereka saat hidup di era orde baru itu mengalami kesulitan-kesulitan yang tidak terbayangkan.

Maka mereka hanya bisa melakukan usaha-usaha perdagangan dan bisnis dan membuat mereka mau tidak mau harus maju dari sana dan harus menjadi sukses. Namun ketika mereka sukses kok malah dinyinyirin sih? Saya sebagai salah seorang yang dekat dengan warga keturunan Tionghoa dan memiliki bisnis kecil-kecilan dengan mereka dan kerjasama bisnis saya merasa jauh lebih baik bekerja sama dengan mereka ketimbang sama orang-orang yang mengaku dirinya beragama.

Bayangkan saja mereka yang beragama tuh membedakan antara riba dan perjanjian akad padahal ujung-ujungnya nominalnya sama aja. Saya pernah berdagang dengan orang asli Indonesia keturunan Tionghoa, sebuah barang yang nilainya 250 juta dan dia mengenakan saya bunga sehingga saya pada 2 tahun cicil kena biaya ujungnya 290an juta.

Skema perjanjian awal sudah jelas mengikuti bunga tahunan sekitar 6 persen selama 2 tahun perjalanan tersebut. Semua hitam di atas putih sudah saya tanda tangani dan dia tandatangani dari awal kontrak.

Beberapa waktu Setelah itu saya juga pernah mendapatkan tawaran pembelian barang yakni rumah di daerah Jawa Barat untuk saya pikir bisa dipakai nanti anak saya bekerja dan berusaha di sana. Pengembang menggunakan sistem akad nilai rumah di sana sekitar 210 juta dan tidak ada bunga katanya karena untuk menghindari riba. Namun saya harus bayar rp 300 juta ketika saya mencicilnya selama sekitar 10 tahun.

Saya melihat skema itu pun langsung saya tolak karena saya bandingkan dengan bank konvensional. Bank konvensional yang tidak pakai sistem istilah-istilah yang suka dipakai oleh kaum mabok agama, memberikan saya skema dari awal untuk cicilan 10 tahun ujung-ujungnya menjadi 300an juta juga.

Saya nggak ingat angka persisnya Seperti apa tapi memang sih lebih tinggi sedikit bank konvensional sekitar beberapa juta. Tapi ya pada akhirnya ujungnya Apakah nggak terlalu beda? Makanya saya kalau berdagang sih lebih suka sama orang-orang yang pakai sistem konvensional kapitalis dan kepada orang-orang yang jujur karena mereka bisa memberikan edukasi sekaligus cara dagang yang adil.

Nggak heran orang-orang keturunan Tionghoa yang sudah menjadi warga negara Indonesia dan memiliki KTP bangsa Indonesia lebih dipercaya karena memang mereka lebih baik dalam berdagang dan lebih jujur meskipun banyak juga yang ambil untungnya gede banget sampai kita geleng-geleng kepala dan bagi saya itu hanyalah sebagian kecil saja.

Tujuan artikel ini adalah untuk membuat kita sama-sama paham bahwa janganlah kita termakan omongan Jusuf Kalla mengatakan orang keturunan Tionghoa itu sebagai "mereka". Cobalah kita pakai istilah "kita" untuk menyebarkan dan menutup setiap peluang-peluang munculnya tekanan-tekanan yang bersifat rasisme.

Orang-orang keturunan Tionghoa sudah cukup tertekan di era Orde Baru bahkan identitasnya sempat disamarkan dan dilarang untuk dipakai dan harus ganti nama. Jujur aja itu sih sejarah kelam loh dan kita harus berbenah terhadap hal itu.

Selain di era Orde Baru, di era penghujung Orde Baru juga masyarakat tionghoa khususnya perempuannya juga dijadikan budak seks kan sampai-sampai cerita-cerita tentang Ita Martadinata dan Fransiska yang pernah saya angkat sebelum-sebelumnya begitu menyayat-nyayat hati rakyat Indonesia secara menyeluruh.