Politik

Politik Identitas Agama Hanya Membawa Indonesia Menuju Kehancuran.

Bamswongsokarto a year ago 703.0

Politik identitas dimaknai sebagai politik yang menunggangi ras, suku bangsa, bahasa, adat, gender maupun agama, sebagai kendaraan yang membawa aspirasi, tuntutan kepentingan politik dan ideologi politik. Sentimen-sentimen identitas mampu mempengaruhi bahkan menggerakkan aksi-aksi untuk meraih tujuan politik tertentu.

Di negara demokrasi yang sudah mapan, politik identitas biasanya dimanfaatkan oleh kelompok minoritas maupun marjinal dalam upaya melawan ketidakadilan atau ketimpangan sistem. Dalam menyuarakan aspirasi kelompok pengusung politik identitas, perbedaan seperti kesukuan, gender dan agama ditunjukkan secara eksplisit dan intensif.

Dari pemahaman ini, jelas bahwa politik identitas itu digunakan oleh kelompok minoritas, untuk menunjukkan keberadaannya, karena kelompok ini merasakan adanya ketidakadilan sistem. Artinya, politik identitas itu hanya sebagai penanda eksistensi satu kelompok minoritas.

Politik identitas yang digunakan di Indonesia berbeda dengan konsep politik identitas yang sebenarnya. Politik identitas di sini lebih terlihat sebagai unjuk kekuatan kelompok mayoritas untuk menekan dan memaksa orang atau kelompok lain yang tidak sepemahaman. Dan tidak digunakan untuk menyampaikan aspirasi, tetapi lebih cenderung menunjukkan arogansi untuk menuntut keistimewaan kelompok mereka yang mayoritas.

Politik identitas sudah lama dibangun sebagai narasi politik oleh kolompok elit politik tertentu di Indonesia, sebagai bagian instrumen politik untuk menggambarkan rasa kebencian dan ketakutan, juga menurunkan citra dan menyudutkan figur yang dinilai kuat dan berpotensi menang. Untuk bisa mengalahkan lawan, perlu disudutkan dengan narasi politik identitas.

Memang benar, kesamaan identitas itu menjadi pemersatu bagi anggota suatu kelompok. Akan tetapi, dalam konteks kebangsaan Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku , agama , ras serta budaya, yang majemuk ini, menonjolkan identitas kelompok secara dominan justru dapat menjadi potensi ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan mengarah pada perpecahan bangsa. Hampir setiap urusan politik, terutama suksesi kepemimpinan bangsa dalam pemilu, bangsa Indonesia selalu di hadapkan pada satu kondisi dimana persatuan dan kesatuan berada diujung tanduk.

Politik identitas baru familiar di sekitar tahun 2017 dimana Pemilu Gubernur DKI Jakarta pada saat itu dilaksakan, yang mengantarkan Anies Baswedan menjadi pemenang dan menduduki jabatan gubernur. Keras dan sporadisnya politik identitas pada saat itu membuat masyarakat terbelah menjadi dua kubu yang berlawanan. Petahana versus oposisi, Cebong versus Kampret, dua kubu yang semakin berseberangan. Dampak produk politisasi pilkada DKI 2017 yaitu masyarakat semakin terkotak-kotak tidak hanya dalam kehidupan berpolitik namun juga sosial dan budaya. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan mengoyak stabilitas bangsa.

Sangat disayangkan hal itu terjadi, mengingat perbedaan yang kita miliki sesungguhnya pernah menjadi kekuatan kita, tetapi saat ini malah menjadi senjata yang menghancurkan kita dari dalam bangsa kita sendiri. Dan tentunya akan sangat berbahaya karena berpotensi menjadi pertentangan yang berkelanjutan, yang berisiko fatal terhadap perpecahan bangsa.

Di Indonesia politik identitas mengerucut menjadi dua kelompok, yaitu nasionalis dan agamis. Kelompok agamis mayoritas terutama yang berhaluan keras, seperti HTI, FPI, Alumni 212, dan kelompok lain sejenis ini, sering dianggap sebagai pemain politik identitas. Kelompok ini memainkan sentimen-sentimen agama yang dibarengi dengan arogansi kekuatan untuk menekan pihak lain. Tak segan-segan dengan mengintimidasi dengan ancaman-amcaman kekerasan, juga persekusi. Beberapa sudah resmi dibubarkan pemerintah, karena keberadaan kelompok itu sudah sangat mengganggu stabilitas keamanan bangsa dan negara. Meskipun sudah dibubarkan, tetap perlu selalu dalam kewaspadaan, karena anggota-anggotanya masih tersebar di mana-mana, termasuk instansi-instansi pemerintah.

Untuk Indonesia, tahun 2024 adalah titik didih persaingan politik dalam suksesi presiden, gubernur, bupati/walikota, dan anggota parlemen. Politik identitas bisa saja akan menjadi pilihan untuk digunakan, terlebih bagi kandidat yang pernah menikmati kemenangan dengan cara itu.

Kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya toleransi, keberagaman Indonesia, dan eksistensi tiap identitas, dimanfaatkan dengan mudah untuk meraup suara sebanyak-banyaknya hanya dengan politik identitas terutama politisasi agama. Politik identitas dieksploitasi dan diperdagangkan oleh elit politik, anggota parpol, tim sukses, elit ormas dengan bentuk penyebaran isu, hoax dan politik identitas.

Sebagai contoh dan pengalaman pilkada DKI 2017, ditemukan kasus penyebaran ujaran kebencian di rumah ibadah, pengusiran jamaah yang mau sholat, pengancaman tidak menyolatkan jenazah, menebar isu sara, sehingga terjadi polarisasi pada tokoh agama. Ini sangat berbahaya bagi bangsa dan negara, jika sampai terulang di pemilu 2024, karena skalanya lebih besar dibanding pilkada DKI Jakarta.

Rakyat Indonesia perlu mencermati, siapa capres-capres 2024 yang sudah mulai bermain politik identitas. Perlu mencermati siapa capres yang mulai mempengaruhi masyarakat dengan isu agama. Itulah capres yang tidak perlu dipilih untuk menjadi presiden.

Masyarakat harus berani melawan ide-ide politisasi identitas, demi terciptanya suasana kondusif dan membentengi meluasnya politisasi agama. Jangan sampai sentimen-sentimen politik identias menghilangkan rasionalitas kita dalam menentukan pilihan. Jangan sampai mereka dengan mudahnya membenturkan perbedaan kesukuan, ras, dan agama kita, untuk memenangkan kekuasaan yang hanya menguntungkan sekelompok orang.

Kita harus betul-betul mengingat sejarah adanya Indonesia, bahwa berdirinya negara ini ditopang oleh seluruh kekuatan rakyat sebagai pejuang, dari berbagai suku-agama-ras-golongan, dengan pengorbanan yang sangat besar. Bukan hanya oleh sekelompok orang.

Oleh karena itu, kita tetap harus membanggakan dan mempertahankan kebinekaan yang ada di Indonesia. Tanpa bisa ditawar-tawar.

Syalom, Salam dan Rahayu

BamsWongsokarto

Sumber Sumber Sumber

Tulisan BamsWongsokarto yang lain klik saja : https://seword.com/author/sumbogo