Politik

Mereka Yang Dipaksa Berpolitik.

Dahono Prasetyo 2 years ago 1.1k

Belum usai awal tahun 2022 kita sudah disuguhi akrobat politik beraroma SARA. Arteria Dahlan dengan mendiskreditkan bahasa Sunda yang menjadi bola salju, didorong menggelinding cepat di jalur politik. Menyusul kemudian Edi Mulyadi dengan Kalimantan tempat jin buang anak yang beraroma merendahkan martabat kedaerahan.

Keduanya bergulir dengan kecepatan jari tangan mengetik, komen dan share di ranah medsos. Kegaduhan muncul bukan karena mendengar langsung tetapi bias dari komunikasi virtual lengkap dengan bonus caption yang diimbuhkan. Bagaimana respon Ridwan Kamil justru menjadi "highlight" memanaskan kalimat Arteria Dahlan. Juga ketersinggungan Syarief Abdullah Alkadrie anggota DPR dari dapil Kalbar 1, atas pernyataan emosional Edi Mulyadi.

Masyarakat adat Sunda dan Kalimantan "dipaksakan" untuk marah dengan pernyataan sosok sosok politikus di media. Harga diri mereka dibangunkan untuk dibela gegara arogansi celoteh yang sengaja diliput, ditayangkan dan disebarluaskan. Bukan sebuah kebetulan kalau kita mau mewaspadai kronologi benang merah kedua kasus bernuansa sektarian.

Sebuah pola pemecah belah sedang disusun masif. Propaganda media mengarah pada satu titik kerawanan ego sektoral, martabat kedaerahan yang merasa dilecehkan. Pro kontra di media menjadi santapan iklan untuk rasa keingintahuan publik dalam kemasan ujaran kebencian. Sebegitu naif-kah sampai Jawa Barat sebagai ibukota masyarakat Sunda lantas memutuskan punya capres sendiri tanpa partai asal Arteria Dahlan? Sejauh itukah sampai masyarakat Kalimantan sakit hati kemudian menolak wilayahnya dijadikan Ibukota negara? Masyarakat adat yang sudah mapan dengan ikatan kutural tiba-tiba jadi baper hanya persoalan viral kata kata.

Media seolah dikendalikan "invisible hand" untuk mengarahkan ke satu agenda politis. Tidak perlu repot untuk membenci sesuatu, cukup lihat satu pernyataan yang digoreng media dengan bumbu penyedap rasa marah. Seolah warisan leluhurnya sedang terancam punah hanya gegara satu orang. Proxy bergerak dengan pola obyektif namun tidak normatif. Peristiwa benar ada namun disampaikan dengan melibas norma aturan. Yang seharusnya meredam justru sengaja diobok-obok secara acak.

Kalau berbicara proxy seberapapun banyak tangan tetap dalam satu komando satu server. Mereka yang sedang mengambil ancang-ancang untuk pertempuran sistemik 2024. Mencuri start sambil mewaspadai di tikungan mana yang pantas untuk menyalip. Bulan Januari ini sudah memakan 2 daerah sebagai korban pergolakan kepentingan. Entah Februari dan seterusnya berapa daerah, suku atau entitas absurd lain menyusul. Mereka yang sedang diiris tipis tipis perbedaan agar tidak berkubang di satu kesepakatan besar tentang hidup bernegara.

Bara dalam sekam sudah dinyalakan di beberapa pos sektoral. Saat mereka menganggap sentimen agama sudah tidak efektif digarap, alternatifnya ada di sentimen kesukuan. Ketika issue pandemi tidak mempan menggoyang pemerintah, mereka berpaling ke kubangan lain bernama IKN. Saat ekonomi terlampau kuat untuk digerogoti, mereka beralih "ngerjain" kestabilan sosial dengan berbagai cara. Semakin banyak kekecawaan diciptakan, sebanyak itulah perpecahan diam diam terjadi.

Pepatah mulutmu harimaumu sudah berubah menjadi jaga mulutmu dari harimauku. Salah berkata kata siap siap dilumat mulut harimau peliharaanku. Kita yang dipaksa berpolitik tanpa sadar, membela kepentingan mereka melalui fanatisme sumbu pendek. Hobby marah marah mesti ditata sesopan mungkin jika tidak ingin jadi bumerang yang berbalik menimpa jidat sendiri. Ujaran kebencian menjadi pasal paling menakutkan saat berhadapan dengan segolongan strata yang tiba-tiba merasa ter-dzolimi.

Penyair WS Rendra dalam satu larik sajaknya sempat melukiskan situasi kepalsuan yang terjadi di sekitar : "Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain, kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri"

Republik ini ada karena hasil menyatukan keberagaman yang bermimpi hidup harmoni di tanah leluhur sendiri. Persoalan perbedaan identitas yang sudah selesai sejak proklamasi, kini sedang dipertanyakan lagi. Itulah cara konyol memecah negeri ini, namun menjadi efektif ketika masyarakat lupa atau sengaja dibuat lupa sejarah.

Cara efektif menyuburkan intoleransi adalah dengan mengabarkan hal-hal buruk dengan cara santun. Sebaliknya cara melawan intoleransi yang paling susah dilakukan adalah mengabarkan hal-hal baik. Keduanya sedang berjuang berlomba sampai duluan masuk dalam fikiran.

Kembali ke syair WS Rendra, jangan sampai kita merasa asing di buku harian kita sendiri

Dahono Prasetyo