Politik

Menjelang Pemilu, Kengototan Cak Imin Bisa Jadi Blunder .

Adin 2 years ago 721.0

Muhaimin Iskandar dengan panggilan Cak Imin menjelang Pemilu tahun 2019 lalu, terkesan ngoto ingin jadi Cawapres Jokowi. Cak Imin mendeklarasikan Join yang merupakan kependekan dari Jokowi-Cak Imin. Selain itu Ketum PKB tersebut mendatangi PDIP dan menyampaikan bahwa PKB akan mengusung Jokowi menjadi Capres, jika Cawapresnya Cak Imin. Sungguh memaksa.

Entah apa yang ada dipikiran Cak Imin waktu itu. Padahal Cak Imin elektabilitasnya biasa saja dan tidak mempunai daya tawar tinggi. Tapi kok begitu nekad ujug-ujug ingin jadi Cawapres Jokowi.

Kemudian kita tahu akhirnya Jokowi memilih KH. Maruf Amien sebagai Cawapresnya. Mungkin kengototan Cak Imin hanya ingin menaikan popularitas. Baik untuk Pemilu 2019 maupun untuk Pemilu selanjutnya yakni 2024.

Kengototan Cak Imin sudah kembali terlihat menjelang Pemilu 2024. PKB telah melakukan manuver untuk meraih keuntungan politik seperti kedudukan politik dan popularitas. Saya kira Cak Imin kembali akan melakukan manuver seperti tahun 2019 lalu.

Manuver Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, di Jawa Timur gagal memikat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Upaya itu jauh panggang dari api, karena Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya teguh pada janjinya agar PBNU tak jadi alat politik dan menjauhi kepentingan politik praktis.

Persoalan bermula ketika konsolidasi politik berupa deklarasi dukungan terhadap Muhaimin sebagai bakal calon presiden 2024 terjadi di Sidoarjo dan Banyuwangi, Jawa Timur. Konsolidasi politik tersebut rupanya melibatkan dua organ resmi PBNU, yakni Pengurus Cabang NU (PCNU) Banyuwangi dan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU, tingkat kecamatan) se-Kabupaten Sidoarjo.

Kegiatan di Banyuwangi digelar di kantor PCNU Banyuwangi pada Rabu lalu. Saat itu Muhaimin sendiri datang berkunjung. Cak Imin bahkan mengeklaim memperoleh dukungan para gus di Jawa Timur untuk melenggang ke Pilpres 2024.

Sementara itu, di Sidoarjo, kegiatan sejenis dikabarkan diinisiasi DPC PKB Sidoarjo serta melibatkan seluruh MWC NU Sidoarjo. Tidak berpolitik praktis Pada era Orde Lama, NU selain sebagai organisasi masyarakat, juga pernah menjadi partai politik. Masuk rezim Soeharto, tepatnya mulai 1973, NU dilebur ke dalam PPP sebagai fusi partai-partai Islam.

Namun, sejak 1984, NU telah mendeklarasikan diri untuk “kembali ke khittah 1926” sehingga keluar dari arena politik praktis. Namun, begitu Soeharto runtuh dan era Reformasi dimulai, terdapat keinginan besar warga nahdliyyin untuk kembali memiliki wadah menyalurkan aspirasi politik.

PBNU harus berhati-hati karena NU tidak boleh lagi terkait langsung dengan politik praktis, termasuk partai politik, sesuai hasil Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984 itu. Pada akhirnya, sejumlah tokoh NU di antaranya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Mustofa Bisri, mendeklarasikan pendirian PKB untuk wadah aspirasi tersebut.

Tetapi, PKB bukan sebagai partai politik resmi NU secara kelembagaan. Dalam perkembangannya, terjadi dualisme dalam internal PKB yang berujung didepaknya Gus Dur oleh Cak Imin. PKB versi Cak Imin kemudian diakui negara sebagai PKB yang “sah”.

Saya kira PKB harus bekerja dengan serius demi rakyat. Karena rakyat akan melihat, menilai dan baru bersimpati jika PKB benar-benar bekerja demi kepentingan masyarakat.

Kengototan Cak Imin sekarang ini seolah tidak memandang rakyat. Karena malah sibuk mencari posisi politik, mencari jabatan politik untuk diri dan untuk partainya. Kengototan ini bisa dinilai sebagai sesuatu kekurangan bagi masyarakat Indonesia.

Karena calon pemimpin adalah sosok yang peduli dengan rakyat, tidak hanya mencari jabatan belaka. Posisi Presiden merupakan bentuk kepercayaan dan amanat dari mayoritas masyarakat. Untuk itu dari pada ngotot cari kekuasaan dan kedudukan lebih baik fokus membuat program kerja yang terasa manfaatnya oleh masyarakat.

Cak Imin juga harus selalu ingat alias tidak melupakan rahim tempatnya dilahirkan. Manuver Cak Imin lama-kelamaan semakin salah menempatkan dirinya di depan PBNU. PKB seolah-olah lebih hebat dan berjasa dari NU.

PKB justru langsung masuk ke PCNU atau MWC NU tanpa mendahulukan etika, permisi atau kulo nuwon kepada pimpinan Nahdlatul Ulama. Ini menunjukkan PKB ingin mengerdilkan NU dan PBNU. Cara berorganisasi yang salah kaprah seperti ini harus diingatkan dan jangan sampai terulang kembali.

Saya kira Cak Imin harus menyesuaikan diri jangan terlalu keukeuh menjadi Capres atau Cawapres. Harus melihat juga tingkat elektabilitasnya, apakah mencukupi atau tidak. Karena jika elektabilitas landai tapi ngotot banget jadi Capres atau Cawapres, tidak menutup kemungkinan orang lain akan menilai jika Cak Imin tidak ngukur diri.

Begitu kira-kira.