Politik

Mengolok Etika Gibran dan Elite Dengan Elok.

Dahono Prasetyo 3 months ago 11.0

Persoalan etika pada Pilpres 2024 didefinisikan antara penting dan tidak penting. Namun usai acara debat keempat yang menghadirkan 3 paslon cawapres, akhirnya bisa disimpulkan etika itu tidak begitu penting bagi salah satu paslon.

Pilpres 2024 bagi paslon Prabowo Gibran didefinisikan bukan sebagai pesta demokrasi, tetapi menjatuhkan rivalitas yang menjadi penghalang mimpi kemenangannya kelak. Mengalahkan dengan cara apapun, termasuk menabrak etika moral dan kesantunan dalam sebuah forum debat terbuka.

Siapa Gibran Rakabuming Raka, bukan sosok anak tukang kayu lagi. Bukan juga generasi milenial yang memiliki kebebasan berkarya dan berekspresi. Gibran lahir dari sebuah dendam kemiskinan, dididik secara feodal usai keluarganya naik kelas kasta tertinggi di Republik yang plural ini.

Diawali dari proses instant menjadi Walikota dengan baground anak Presiden. Demokrasi di kota Solo dalam intimidasi politik yang mau tidak mau memaksa warganya memilihnya menjadi Walikota dengan kemenanga lebih dari 80% suara.

2 tahun menjabat sebagai Walikota berlalu ketika sebuah tantangan lompatan besar ditawarkan kepada Gibran. Prabowo meminangnya menjadi calon wakil presiden, entah alasan kebuntuan strategi pasca kekalahan beruntun 2 pilpres sebelumnya, atau sebuah grand desain lahirnya gaya politik orba yang bertransformasi menjadi neo orba.

Kembali ke persoalan etika politik. Bagaimana sebuah tatanan konstitusi bisa direkayasa dari satu pasal UU KPU yang sebelumnya dilarang, berubah menjadi diperbolehkan dalam hitungan minggu. Mahkamah Konstitusi melahirkan produk hukum non etis yang meloloskan Gibran dengan perubahan syarat undang-undang secara instan. MK terbukti melanggar etika berat atas putusan sarat politis tersebut. Majelis Kehormatanh MK menjatuhkan sanksi kepada Ketua MK dengan mencopot kuasa jabatannya.

Anwar Usman yang tak lain paman dari Gibran dicopot palu hakimnya, celakanya tidak berbarengan dengan dicopot “kemaluannya”. Walhasil Anwar Usman memberikan perlawanan dengan merasa tidak malu apalagi bersalah atas putusan yang melanggar etika.

Anak haram konstitusi bernama Gibran Rakabuming Raka melanggeng, masuk kancah perpolitikan tinggal tinggi dengan catatan protes sejumlah kalangan yang tak sekalimatpun diggubrisnya. Nama besar Presiden Jokowi cukup menjamin situasi elite baik-baik saja. Forum debat dimanfaatkannya sebagai ajang unjuk kekuatan anak produk feodalisme untuk merendahkan lawan debatnya.

Istilah dinasti politik sebagai kata ganti dari nepotisme bergaung di ruang publik. Disadari atau tidak, PDI Perjuangan menjadi partai yang berperan besar melahirkan dinasti politik. Merestui anak dan menantu Presiden Jokowi menjabat sebagai kepala daerah menjadi kecelakaan pengambilan keputusan yang berimbas sakitnya di dada efeknya di kepala. Pusing.

Nasi sudah menjadi bubur ayam, efek domino membentuk badai yang mengganggu kehidupan demokrasi. Gibran menjadi contoh terburuk sebuah kekuasaan besar yang ingin merubah demokrasi kerakyatan menjadi demokrasi elitis. Demos (rakyat) kratos (kekuasaan) dirubah menjadi demon (setan) kratos dengan dengan target The Most kratos (lebih berkuasa).

Etika berpolitik menjadi barang langka ditemukan pada paslon Prabowo Gibran. Pertaruhan mereka sudah terlalu besar untuk tidak dimenangkan, termasuk dengan melanggar etika apapun. Dan jika mimpi menang mereka terwujud, kita berada dalam fase baru beraroma lama.

Kekuasaan itu candu, jabatan adalah investasi kepentingan. Demokrasi bagi mereka adalah proses membungkam suara-suara berisik dengan makan siang dan susu gratis. Negara akan berlayar kemana itu urusan para elitnya, rakyat cukup hanya dibuat kenyang lalu dipaksa kembali mendayung jutaan kayuh.

Kita memang harus melawan, meskipun harus kalah setidaknya telah melakukannya dengan sehormat-hormatnya. Tulisan ini dianggap mengolok-olok atau tidak tergantung sisi kekuasaan mana melihatnya. Kekuasaan elite atau rakyat?  Sosok Palti Hutabarat sudah memberi contoh kasus, bagaimana penguasa bisa membungkam seseorang tapi tidak dengan gema suara teriakannya yang terlanjur melangit.

Mari kita bersikap!!