Politik

Jokowi Sudah Tuna Netral?.

Dahono Prasetyo 4 months ago 5.0

Hari pemungutan suara semakin dekat. Tidak hanya Presiden Jokowi saja yang berlanjut cawe-cawe, namun seakan menjadi tauladan, para kepala desa ikut nimbrung jadi timses untuk kemenangan paslon Prabowo Gibran. Ditambah lagi ASN dari instansi dinas yang memiliki struktur keanggotaan dari pusat hingga ke daerah, mendadak jadi tim kampanye cawapres Gibran.

Video viral kepala dinas menyampaikan instruksi memilih capres Prabowo Gibran kepada bawahannya bukan lagi sembunyi-sembunyi, tapi justru menjadi kebanggaan. Memenangkan Gibran menjadi kewajiban karena merupakan anak sulung Jokowi, tidak peduli jalur haram MK yang ditempuhnya.

Apa yang sebenarnya terjadi pada pesta demokrasi kita hari ini?

Memilih pemimpin yang sejatinya adalah hak setiap warga, sedang dirancang menjadi kewajiban untuk memenangkan calon presiden tertentu. Hak memilih yang melekat pada diri seseorang sedang disandera kebebasannya oleh sebuah sistem birokrat. Wajib memilih sesuai arahan struktural di atas jelas merupakan tekanan kekuasaan ketika ada resiko yang mengancam apabila mengabaikan.

Pakta integritas atau yang sering disebut pernyataan komitmen tunduk pada aturan dalam institusi pemerintahan disalahgunakan untuk kepentingan politik. Netralitas ASN yang digembar-gemborkan sesungguhnya tidak pernah ada. Mereka punya hak pilih tatapi tidak punya kuasa untuk menolak arahan pilihan dari pimpinannya.

Begitu pula yang terjadi pada perangkat desa. Meskipun dipilih langsung oleh warga, kepala desa/lurah memiliki ikatan birokrasi dengan pemerintah daerah. Lurah dan kepala desa digaji oleh negara yang otomatis harus tunduk pada aturan pemerintah. Kepala desa menjadi timses Prabowo Gibran sudah menjadi rahasia umum dan cenderung dibiarkan. Mengarahkan warga untuk memilih Paslon 02 seakan menjadi tugas negara.

Apa yang sebenarnya terjadi pada kades dan lurah di sekitar kita?

Jokowi merancang sebuah sistem manajemen birokrasi keuangan yang terlihat transparan namun sesungguhnya eksklusive. Terlihat terbuka, namun hanya pihak-pihak tertentu yang berhak mengendalikan.

Milyaran dana desa yang dikucurkan tiap tahun sengaja ditransfer ke rekening desa yang penggunaannya ada pada kuasa tanda tangan kepala desa. Dengan kata lain penanggung jawab laporan penggunaannya ada pada kepala desa. Para kepala sebagai kuasa pengguna anggaran langsung, tidak sedikit yang "bermain".

Mark up belanja pasir, besi, semen untuk pembangunan infrastruktur desa menjadi praktik korupsi dan kolusi dalam skala kecil. Tidak mustahil sistem tersebut sengaja dirancang untuk kepentingan Pilpres kali ini.

Betapa tidak, para kades dan lurah pengelola dana desa secara tidak langsung sedang tersandera. Mereka diwajibkan mengikuti arahan inspektorat pengawas anggaran di atasnya yang sudah berubah menjadi mesin politik. Bagi kades “nakal” yang biasa bermain kolusi akan lebih mudah diarahkan untuk loyal perintah tim pemenangan dengan ancaman akan diungkap laporan keuangannya apabila menolak perintah.

Bagi kades yang “tidak nakal” bukan berarti bebas tugas dari paksaan mendukung paslon tertentu. Ancaman dana desa akan dikurangi atau dipersulit turun, itu juga masalah serius bagi mereka. Prediksi ini berlaku random, tidak semua seperti itu tetapi mewakili sebagian besar yang terjadi

Jadi memang benar kalau Prabowo Gibran sudah memenangkan suara di kelas birokrasi hampir di seluruh wilayah. Jika belakangan ini beredar kabar timses Ganjar Mahfud dan timses Anis Cak Imin sedang kasak kusuk berencana membentuk koalisi, sesungguhnya mereka sama-sama sedang berkeluh kesah. Keduanya merasa sama-sama dikerjain Pak Lurah.

Jika kemudian mengerucut menjadi satu kesepakatan : Menolak Pilpres satu putaran jika dimenangkan oleh paslon yang didukung Jokowi. Tidak hanya penuh kecurangan tetapi jika netralitas pemerintah sudah tidak ada, bagaimana bisa melahirkan pemimpin yang dipercaya sebagian besar masyarakat?

Kesimpulan tulisan di atas, bahwa lawan paslon 01 dan 03 ternyata yang terberat bukan trio Prabowo-Gibran plus Jokowi. Tetapi justru dari panitia hajatan Pemilu dan kepala desa dari Sabang sampai Merauke.

Mengapa itu bisa terjadi?

Karena Jokowi sudah TUNA NETRAL