Politik

Indonesia Untuk Bangsa Indonesia.

Erika Ebener 4 months ago 4.0

Tepat satu bulan dari sekarang bangsa Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas akan memilih pemimpin negara dan bangsanya. Sekarang ini para kubu kandidat calon pemimpin sudah melancarkan berbagai macam strategi untuk memenangkan suara agar memilih mereka, terutama pemilih milenial. Menariknya baru di Pilpres 2024 ini ada calon presiden yang bukan seorang asli bangsa Indonesia sebagaimana bunyi UUD 1945 Pasal 6 ayat (1) sebelum UUD kita ini di amandemen pada tahun 2002.

Pencalonan Anies Baswedan, yang diketahui merupakan keturunan Arab Yaman generasi ke-3, berkontestasi di Pilpres 2024 ini tentu saja karena adanya perubahan bunyi Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang sekarang ini berbunyi bahwa “Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban presiden dan wakil presiden”. Lucunya, para elit politik saat itu seperti lupa bahwa sejak awal Indonesia tidak pernah menganut asas IUS SOLI Dimana kewarganegaan seseorang didasarkan pada tanah kelahirannya. Parahnya, perubahan bunyi Pasal 6 ayat (1) ini dilakukan tanpa adanya persetujuan jajak pendapat masyarakat umum atau dengan kata lain diputuskan sepihak oleh para elit politik saat itu.

Tanpa disadari dampak dari perubahan bunyi Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 ini adalah bergulirnya euphoria demokrasi liberal hingga kemudian lahir sebuah undang-undang baru nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dengan kata lain UU No.40 tahun 2008 telah membuat para pendatang asing yang secara bergelombang bermigrasi ke Indonesia di abad sebelumnya beranak cucu dan sekarang sudah menjadi warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dengan orang Indonesia pribumi untuk mengembangkan budaya dan kebiasaan mereka di Indonesia.

Sialnya undang-undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ini dimanfaatkan atau disalahgunakan oleh sebagian oknum masyarakat Arab untuk melakukan tindakan-tindakan yang justru sangat rasis terhadap kaum pribumi. Diantaranya adalah pernyataan fenomenal dari seorang keturunan Arab yang menyatakan bahwa “belajar Islam dari seorang Habib yang bodoh lebih baik dari belajar Islam dari 70 orang kyai yang alim”. Sedangkan kita semua tahu bahwa sebutan “Habib” adalah istilah yang disematkan pada seorang “Keturunan Arab” yang diklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad saw. Lucunya lagi, penyebutan kata “Habih” bagi keturunan Nabi Muhammad saw hanya diterapkan di negara kita tercinta ini dan tidak diterapkan di negara manapun di dunia. Sama halnya seperti sebutan “haji” bagi orang yang telah berhaji hanya diterapkan di Indonesia tapi tidak di negara manapun di dunia. Sedangkan sebutan “Kyia” adalah istilah Bahasa jawa kuno yang disematkan pada tokoh agama atau orang yang memimpin pondok pesantren. Ini hanya satu dari sekian banyak kejadian sikap rasis para oknum Masyarakat Arab yang terjadi lebih dari 10 tahun terakhir ini.

Kelakuan rasis para oknum Masyarakat Arab yang merendahkan martabat para kyia sebagai pemimpin umat Islam pribumi sejak jaman Wali Songo, yang 6 di antara 9 wali ini adalah keturunan Nabi Muhammad saw, sudah menampakkan reaksi dari sebagian Masyarakat Indonesia pribumi.

Jika rasisme para oknum keturunan Arab ini merupakan suatu tesis sosial, maka di waktu yang bersamaan atau di waktu yang bertuturan dalam teori dialektika Hegel akan muncul anti tesisnya berupa rasialisme kaum pribumi yang bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Yang pasti, disadari atau tidak disadari, suka atau tidak suka, faktanya wajah Indonesia hari ini tidak lagi seperti wajah Indonesia sebelum adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan lahirnya Undang-Undang No.40 tahun 2008.

Terbayangkan kah oleh para elit politik Indonesia yang menyusun amendemen UUD 1945 bahwa akibat atau dampak dari apa yang mereka putuskan ternyata memciptakan tuntutan lanjutan yang lebih besar? Karena tentu saja akan menjadi konyol jika Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 mengijinkan WNI keturunan untuk menjadi calon presiden tapi diskriminasi ras dan etnik dibiarkan hidup di tengah rakyat Indonesia. Dan setelah tuntutan yang lebih besar ini terpenuhi, yaitu penghapusan diskriminasi ras dan etnis, mereka ternyata menginginkan sesuatu yang jauh lebih besar lagi. Dan untuk mewujudkan keinginan yang jauh lebih besar ini, mereka gunakan ke-arab-annya sebagai acuan dalam beragama islam. Sampai-sampai seorang oknum Habib dengan terang-terangan menyangkal keras amanat Presiden RI pertama, Ir Soekarno, yang mengamanatkan “untuk beragama Islam tidak perlu menjadi orang arab” dan dia mengatakan bahwa “seorang muslim itu harus mencintai orang arab”. Lalu dengan kecongkakannya oknum ini juga meng-togut-kan pemerintahan yang ada, men-tlolkan Presiden Indonesia dan menggblokkan Menteri Agama. Apakah si oknum ini berharap bahwa negara besar yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan bekal kedua UU di atas, dipimpin oleh seorang dari mereka?

Puncaknya, hari ini kita melihat seorang WNI Keturunan Arab maju menjadi calon presiden Indonesia yang selama kampanyenya ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya hanyalah sindiran-sindirian, ejekan-ejekan pada calon lain dan retorika-retorika serta tata kata yang sulit dicerna oleh orang cerdas. Dan jika calon ini menang menjadi Presiden Indonesia, terbayangkah oleh kita semua seperti apa wajah Indonesia nanti? Kemana keberpihakan yang selalu menjadi jargonnya akan bermuara?

Saya cukup lama tercenung lama dan berpikir ketika mendengarkan video ungkapan seorang Bapak Negarawan yang mengatakan bahwa Indonesia Untuk Bangsa Indonesia. Dan karenanyalah ide untuk menulis ini muncul karena saya setuju dengan pandangan beliau.

Simak videonya Indonesia Untuk Bangsa Indonesia