Politik

Harmonisasi Sipil Militer Jokowi Prabowo Dalam Menghapus Rekam Jejak Reformasi.

Dahono Prasetyo 2 months ago 3.0

Penganugerahan kenaikan pangkat militer kepada Prabowo oleh Presiden Jokowi menjadi lanjutan komedi koalisi 2024 seusai Pemilu yang “ugal-ugalan”. Kebijakan menyematkan lencana bintang empat kepada seorang purnawirawan disersi seolah sedang menertawakan catatan sejarah.

Ide para petinggi militer yang diapresiasi Presiden, sepakat membersihkan noda hitam pelaku penculikan aktivis di era reformasi 98. Rekonsiliasi dilakukan dengan cara menghapus kesalahan, bukan meminta maaf dengan segala kompensasinya.

Prabowo begitu istimewa bagi Jokowi yang kini sedang berkuasa. Dua kali pilpres dipecundangi Jokowi dan kini berbalik berkolaborasi kekuasaan dengan menitipkan Gibran di ketiak Prabowo. Dan istilah sejarah ditulis oleh pemenang memang benar dilakukan tanpa sungkan, termasuk dengan cara membelokkan fakta. Jokowi dan Prabowo yang sedang menjadi pemenang dalam perebutan kekuasaan butuh kontestasi tampilan dan legitimasi meskipun penuh manipulasi.

Tangan Prabowo yang dianggap masih berlumuran darah butuh dibersihkan dengan air egaliter. Sama derajatnya dengan pemimpin lain tidak boleh ada noda.

Khusus untuk catatan sejarah Prabowo jika kemudian dibelokkan, dari zero kini menjadi hero, maka hilang pula catatan multidimensi bertajuk era reformasi. Jika itu yang sedang direncanakan, maka bangsa ini tinggal menunggu penghapusan sejarah-sejarah lain yang sengaja dipelihara kontroversinya.

Penantian panjang 26 tahun keluarga korban penculikan berakhir dengan antiklimaks saat Prabowo kemudian dinobatkan bintang jasa militer dengan kenaikan pangkat. Keluarga mereka diculik dan hilang tanpa ada pelakuknya. Lalu bangsa ini sedang dipaksa percaya pada superiornya bangunan kekuasaan. Melawan hanya akan semakin dilemahkan

Jika penguasa sudah berkehendak, demokrasi dianggap sampah. Strata sosial bernama masyarakat dipaksa menurut apa kata kekuasaan. Cukup dibayar dengan imbalan bansos, sembako bonus makan siang dan susu gratis. Selanjutnya mereka yang termakan rayuan, selamanya akan bergantung pemberian penguasa.

Lalu saat BBM dan listrik naik, sembako mahal hingga pajak menjerat mereka tidak berhak protes. Atau kemudian bansos dan makan siang dihentikan karena tidak ada dana, kita dipaksa menerima. Mereka yang kemarin memilih karena uang sudah tidak punya hak untuk komplain apapun amburadulnya pemerintahan. Karena suara mereka sudah dibayar tunai pada saat memilih dalam Pemilu transaksional.

Kita sedang digiring masuk dan berjalan di sebuah lorong. Gelap atau suram di depan, tidak ada ruang untuk kembali menyesal dan berbalik arah. Jika kemudian berakhiar pasrah, maka hidup hanya menghabiskan sisa usia.

Semoga paham, masyarakat harus berbuat apa.