Politik

Duet Ganjar-Anies Berbahaya, Pesan Jokowi : Jangan Grasah Grusuh!.

Ninanoor 2 years ago 1.5k

Dalam beberapa hari ini terdengar wacana yang hendak memasangkan Ganjar Pranowo dengan Anies Baswedan di Pilpres 2024. Bahkan diskusi panjang pun berlangsung di antara para penulis Seword. Di dalam politik, semua memang bisa saja terjadi. Satu contoh yang kerap disebut adalah ketika Presiden Jokowi memilih KH Ma’ruf Amin menjadi cawapres dalam Pilpres 2019. Saya ingat ketika itu banyak pihak yang kaget dengan pilihan Presiden Jokowi. Banyak yang tidak menyangka. Banyak yang tidak suka.

Namun akhirnya rata-rata semua mengerti maksud Presiden Jokowi. Pilihan beliau memang sangat strategis, dan telak menghantam lawan. Karena kita tahu bahwa salah satu strategi lawan Jokowi waktu itu adalah menggunakan politik identitas. Dengan merangkul kelompok yang katanya ahli surga. Berdasarkan pengalaman mereka di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 silam. Bahwa kelompok itu berhasil menghantarkan Anies Baswedan memenangkan kursi DKI 1. Kisah sukses itu lah yang hendak diulangi dalam Pilpres 2019.

Tentu saja strategi mereka itu tidak sukses seperti yang diharapkan. Sebagian memang karena pemilihan KH Ma’ruf Amin menjadi cawapres. Presiden Jokowi jadi sulit untuk diserang dengan politik identitas. Walaupun sempat ada kampanye hitam yang dijalankan pendukung lawan. Seperti kampanye emak-emak di Karawang, yang menyebut jika Jokowi terpilih lagi jadi presiden, maka azan akan dilarang dan LGBT akan disahkan Sumber.

Narasi seperti ini sulit dipercaya masyarakat, karena cawapres Jokowi kan seorang ulama. Jadi KH Ma’ruf Amin bisa disebut sebagai sosok yang bisa mempersatukan perbedaan di kalangan rakyat. Nah, inilah yang disebut sebagai tujuan pemasangan Ganjar Pranowo dengan Anies Baswedan. Atau bisa juga disebut untuk mempersatukan cebong dan kadrun. Selama ini polarisasi cebong dan kadrun memang dianggap berbahaya untuk kesatuan dan persatuan bangsa. Itu juga yang mendasari bergabungnya Prabowo dan Gerindra ke dalam koalisi pendukung pemerintah.

Memang itu adalah sebuah tujuan yang mulia dan masuk akal. Namun, polarisasi cebong dan kadrun sebelum Pilpres 2019, saya kira berbeda dengan apa yang terjadi pasca Pilpres 2019. Para kadrun yang bertahan jadi kadrun pasca Pilpres 2019, hanya tinggal kelompok yang gagal move on. Yang masih punya ambisi untuk berkuasa, namun gagal. Dan memang mereka ini lebih banyak berada di luar pemerintahan.

Sementara Anies Baswedan tetap menjaga hubungan baik dengan mereka. Yang paling nyata dijadikan contoh adalah FPI dan sang imam besarnya, Rizieq Shihab. Anies tetap setia menghadiri milad FPI pada bulan Agustus 2019 dan Reuni 212 pada bulan Desember 2019. Anies juga menyambut kedatangan Rizieq Shihab pada bulan November 2020. Dalam fotonya, terlihat Anies mengacungkan jempol. Tapi kok nggak memaksa Rizieq untuk masuk karantina sesuai dengan aturan yang berlaku? Tidak juga memaksa Rizieq untuk tidak menggelar acara yang mengumpulkan massa, karena melanggar prokes. Dari sini publik bisa melihat bahwa bukan saja Anies tidak mau lepas dari kelompok ini, tetapi Anies bahkan masih merangkul para kadrun ini.

Kayak gitu kok mau dipasangkan dengan Ganjar Pranowo? Yang dikenal sebagai nasionalis serta tegas menolak kelompok radikal dan pengusung khilafah. Terakhir kita mendengar suara tegas Ganjar terkait adanya konvoi sekelompok orang pengusung khilafah. Begitu ada videonya, Ganjar langsung mengecek lokasinya. Yang ternyata ada juga di wilayah Jawa Tengah. Ganjar pun langsung berkomunikasi dengan pihak intelijen dan pemda untuk menindaknya. Ganjar meminta aparat keamanan untuk jangan ragu dalam bertindak Sumber. Instruksi Ganjar ini langsung ditindaklanjuti oleh aparat kepolisian Jateng. Yang kemudian menetapkan pelaku konvoi sebagai tersangka Sumber.

Sementara di Jakarta, pada waktu hampir bersamaan, digelar acara deklarasi Anies sebagai capres 2024. Deklarasi ini digelar oleh kelompok Majelis Sang Presiden Kami. Yang terdiri dari kelompok eks HTI, eks narapidana teroris (napiter) dan eks FPI Sumber. Mereka ini memang para pendukung Anies untuk jadi presiden di NKRI. Seperti pengakuan seorang peserta acara yang merupakan eks narapidana terorisme, bernama Kartono. Bahwa dia hadir di acara tersebut karena memang ingin mendukung Anies maju sebagai capres 2024 Sumber.

Saat acara berlangsung sempat terjadi kehebohan karena panitia meminta agar atribut bendera HTI yang dipasang untuk segera diturunkan Sumber. Suara netizen menilai bahwa kehebohan ini sekedar drama yang dimainkan, untuk memberi kesan bahwa Anies anti kelompok radikal Sumber.

Padahal, nyatanya publik sudah sejak lama tahu soal keakraban Anies ini dengan mereka. Banyak berita dan banyak foto ataupun videonya. Kayak gini kok mau dipasangkan dengan Ganjar Pranowo?

Saya yakin selama masa pandemi, ada banyak pendukung Prabowo di 2019, di kalangan masyarakat, yang merasakan dampak positif kebijakan Presiden Jokowi. Sehingga mereka pun paham dan bisa menerima bahwa sekarang itu presidennya ya Presiden Jokowi. Sehingga mereka bisa menerima dan mentaati segala kebijakan dan aturan yang diambil oleh Presiden Jokowi. Namun, masih ada sebagian kadrun yang tidak bisa move on. Dan terus saja menyerang Presiden Jokowi, terutama di media sosial. Terutama para pengusung khilafah, yang hendak mengganti dasar negara Pancasila. Rekam jejak dan kenyataan bahwa Anies tidak pernah tegas menjauhi dan melarang kelompok radikal maupun pengusung khilafah, tentu sangat berbahaya. Apalagi jika kemudian “dimaafkan”, demi tujuan menyatukan polarisasi politik. Kita sudah menyaksikan siapa-siapa yang masih saja menyerang Presiden Jokowi. Yang tidak akan bisa berubah, saya yakin itu. Justru mereka maunya kita ini yang mengikuti mereka. Agar kita mau menerima kekhilafahan yang mereka usung. Dengan kata lain, nggak ngaruh jika Anies dijadikan cawapres dan dipasangkan dengan Ganjar Pranowo.

Pemasangan Ganjar dengan Anies, tidak akan efektif. Tidak akan mencapai tujuan persatuan dan kesatuan bangsa. Lha wong pendukung Anies malah mengusung khilafah dan memaksakan keinginannya. Walaupun HTI dan FPI sudah jadi organisasi terlarang, apakah provokasinya sudah benar-benar terhenti? Kita masih mendengar suara-suara sumbang dari pengacara Rizieq dan dari para aktivis PA 212. Masih ada tagar pengusung khilafah bertebaran di media sosial. Masih terjadi konvoi para pengusung khilafah. Tanpa ada suara tegas Anies yang melarangnya. Kalau Ganjar Pranowo sudah pasti tegas.

Apa yang bisa menjamin bahwa Anies akan berubah 180 derajat jika menjadi pasangan Ganjar di 2024? Apakah Anies mau hanya jadi cawapres, padahal ambisi besarnya adalah jadi presiden? Apakah Anies bisa menghilangkan “dendamnya” terhadap Jokowi? Apakah semua pendukung Ganjar bisa menerima Anies? Dalam politik, segala sesuatu memang mungkin saja terjadi. Tapi dengan perhitungan strategis yang matang. Ada give and take yang terjaga dan memberi manfaat. Ingat pesan Presiden Jokowi yang disampaikan di acara silaturahmi dengan para relawannya. Tidak usah tergesa-gesa, tidak usah grasah grusuh. “Kita sedang bekerja keras menyelesaikan persoalan-persoalan besar negara”, kata Presiden Jokowi Sumber. Sebuah kode keras, agar mereka yang namanya kerap disebut sebagai capres 2024, tetap bekerja semaksimal mungkin. Jangan hanya main drama, tata kata dan pencitraan kosong. Selalu dari kura-kura!


7LDNMK8jEOI

Tulisan sebelumnya: Formula E Jadi Bumerang, Karir Politik Anies Jadi Taruhan!

Tulisan-tulisan saya yang lain bisa dibaca di sini : Ninanoor

Credit foto : rmol.id, kureta.id