Politik

Amanat Profesor Quraish Shihab : "Jangan Pilih Seorang yang Terobsesi Memimpin".

Ruskandi Anggawiria a year ago 1.2k

Dalam konteks kebijakan publik, pengamatan ahli dalam melihat perilaku seorang pejabat, kita bisa membandingkannya dengan seorang politisi yang lebih kental nuansa pencitraannya. Khusus mengenai perilaku Anies Baswedan ketika diberi kesempatan memimpin Jakarta selama lima tahun, penilaian objektif dari ahli justru menegaskan Anies hanya ahli bermain kata-kata, dan bukan yang lain. Apa yang bisa kita maknai dari penilaian demikian?

Tentu saja kita tidak boleh berhenti pada tataran memaknai seorang ahli kata-kata yang ketiban pulung dipilih warga, lebih-lebih wilayah ibu kota. Publik harus lebih cerdas dari sekedar membaca fenomena, dan ketika sang fenomenal tak kunjung sadar dengan kompetensinya dalam hal yang satu ini, harus ada yang memberi kesadaran. Kitapun harus prihatin bahwa alih-alih mengingatkan, partai politik yang cenderung halu justru memberinya panggung untuk meninabobokan rakyat.

Pertanyaan besarnya, apakah mereka akan terpuaskan dengan hanya menelan kata-kata memabukkan? Mungkin dalam dunia dongeng, yang umumnya dialami bocah kecil, hal ini bisa tuntas dalam sekejap, namun jauh berbeda ketika kita bicara dalam konteks keseharian. Mereka perlu menghidupi keluarga, bersosialisasi, beribadah dan hal-hal praktis lainnya, yang tetap menuntut pemimpin membumi, bukan pemimpin mendongeng.

Rekam jejak seseorang harus menjadi catatan tebal, dan lebih dari itu kita harus mengimbanginya dengan idealisme bermasyarakat. Apakah retorika sudah dinilai cukup untuk menyelesaikan persoalan idealisme masyarakat? Tentu saja tidak boleh berhenti di situ, melainkan ada langkah ikutan berupa gerakan massif. Gerakan itu dipacu oleh motivasi sang pemimpin terpilih.

Poinnya, pemimpin adalah mesin motivator, selain itu dia juga memiliki peran kunci sebagai pengayom, pengadil dan pembela bagi yang lemah. Jika kita melihat ahli kata-kata berkiprah, lalu tiba-tiba kita tergerak untuk menjadikannya pemimpin, maka tunggulah hasil akhirnya. Dia akan terus memuntahkan kata-kata, seolah-olah sudah melakukan banyak hal, karena sehari-hari kesibukannya hanya satu jenis, maka segala hal dia aktualisasikan sebagai rangkaian kata-kata.

Seorang ahli kata-kata mungkin dalam waktu singkat mampu menjadi magnet. Namun lama kelamaan publikpun akan disadarkan tabiat aslinya, ketika dituntut hal lebih, andalannya hanya bermain lidah. Bahkan lebih destruktif lagi ketika obsesinya mengendalikan publik melalui kemampuannya itu.

Publik tentu masih mengenang, pemilihan gubernur di DKI Jakarta tahun 2017 yang berlangsung dua putaran begitu banyak meninggalkan “luka”. Demi mengalahkan Ahok, petahana gubernur mantan pasangan Jokowi saat menjabat gubernur DKI, pendukung Anies melancarkan “semua cara”.

Mulai dari strategi penggunaan “ayat” hingga “mayat” dilancarkan relawan dan tim pendukung Anies. Hasilnya Anies melenggang. Ahok kalah. Jagat politik kita pun memiliki jejak kelam tentang kampanye politik yang tidak beradab dan bermartabat. Anies telah dengan tegas membantah dirinya menggunakan politik identitas dan anti kebinekaan. Anies justru menunjukkan pencapresannya oleh Partai Nasdem bersama PKS dan Demokrat di Koalisi Perubahan malah “dicemaskan berlebihan “ oleh partai-partai lain.

Waspadalah rakyat Indonesia, jangan terkecoh seperti warga Jakarta. Cukup mereka yang menyesal, jangan meniru hal yang tak baik.