Politik

Adakah Kesamaan Dewan Kolonel dengan Isu "Dewan Jendral" di Zaman Orde Lama? .

Ruskandi Anggawiria 2 years ago 765.0

Ada dinamika yang unik terjadi di internal PDIP akhir-akhir ini. Mereka seperti sedang menjalankan strategi test the water atas isu yang mereka lempar ke publik. Berebut panggung antara pendukung Puan melawan pendukung Ganjar, sepertinya akan semakin menyita emosi publik.

Sejak awal tampak kubu Puan mengekspresikan ketaksukaannya ketika terdengar berita Ganjar Pranowo digadang-gadang oleh Partai Nasdem sebagai kandidat capres. Bahkan sebelumnya mereka melakukan road show di banyak wilayah yang cukup mendapat respon positif.

Media-media mainstream tak ketinggalan memuatnya di head line mereka, tak ayal membuat elit PDIP mrasa terusik. Adalah pendukung Puan Maharani, Bambang Wuryanto yang paling depan mengangkat genderang perlawanan atas fenomena ini. Terasa mengganjal saja, apakah mereka yang terlihat berseteru itu tak menduga akan terjadi kegamangan, misalnya ketika telah diputuskan siapa di antara keduanya yang dipilih untuk maju sebagai capres?

Melihat kecenderungan publik melalui hasil-hasil survey, sepertinya kedua pihak harus mulai berpikir secara taktis. Bahwa kepentingan yang jauh lebih besar bukanlah terletak pada isu pertentangan antara Puan atau Ganjar. Lebih penting dari persoalan itu adalah bagaimana publik melihat PDIP sebagai kekuatan politik yang solid, melebihi soliditas partai manapun yang menjadi kompetitor mereka.

Mereka perlu memikirkan bagaimana publik akan meneguhkan hati dan menjatuhkan pilihan kepada PDIP sebagai peraih suara mayoritas, jika mereka justru sibuk gontok-gontokan di rumah tangganya sendiri? Bukankah lebih elegan jika mereka membahas isu yang lebih membangun soliditas partai?

Bayangkan juga bagaimana partai kompetitor akan bersemangat memanas-manasi mereka agar situasi ini terus berkembang tak terkendali? Para kompetitor tentu sangat berkepentingan dengan situasi panas ini, artinya mereka telah memberi ruang yang lapang guna dikapitalisasi oleh pihak lawan, khususnya dalam rangka pileg.

Ketimbang membiarkan saling mengangkat persaingan tak perlu, kenapa tidak sekalian membuat semacam pemungutan suara pendahuluan? Toh hal ini sudah secara lazim dilakukan di negara demokratis. Amerika misalnya, mereka selalu melakukan mekanisme seperti ini untuk melihat calon mana yang paling disukai oleh konstituen masing-masing.

Jika terus mengembangkan cara gampangan seperti ini, bukan tidak mungkin PDIP akan sampai pada tahap pertentangan internal yang menjurus kepada perpecahan. Sejarah membuktikan, di masa Orde Baru mereka terpecah menjadi dua partai yang namanya hanya berbeda satu huruf.

Atau mungkin justru cara ini memang sudah menjadi suratan bahwa seleksi alam melalui perpecahan yang terus memuncak, akan menghasilkan pilihan kepada publik, kubu mana yang mereka lebih sukai? Jika cara ini yang mereka sukai, sepertinya kita akan selalu menghadapi situasi yang sama setiap waktu, minimal pada momen menjelang kontestasi politik.

Alih-alih beradu konsep untuk memberdayakan potensi bangsa, jika pertentangan seperti ini terus dikipas-kipas, publik akan melihatnya sebagai tak mendidik demi kemajuan politik nasional. Lebih jauh lagi mereka mungkin akan berpikir, para elit politik hanya piawai bermain drama, khususnya untuk menghipnotis calon pemilih.

Adu brutalitas secara verbal, barangkali demikian publik akan menilai para pendukung jagoan ini menjalankan perang urat syaraf. Namun apapun alasan dan justifikasi mereka, termasuk pembentukan Dewan Kolonel dan Dewan Kopral di dua kubu yang berbeda.


o2TMQmdlnRM

Pengamat politik Ari Nurcahyo dari Para Syndicate memberi analisis menarik, bahwa keputusan akhirnya tetap di tangan Ketum PDIP, justru kedua kubu ini memberi kesan beradu pengaruh agar jagoan mereka sehingga semakin dikenal oleh publik. Menurut Ari, keberadaan mereka jangan diartikan sebagai perpecahan di internal PDIP, namun justru sebagai wujud dinamisnya para relawan dan kader-kader PDIP yang memanfaatkan kanal-kana aspirasi.

Sebagai pihak luar yang hanya melihat di permukaan, kita hanya berharap dramatisasi kubu-kubuan ini jangan berkembang menjadi isu kontra produktif, misalnya saling mengirimkan ujaran kebencian, yang akhirnya berdampak negative terhadap elektabilitas partai.

Dan akhirnya kita seperti disuguhkan pertunjukan politik, berupa skenario yang menggiring kita pada pilihan yang sama, yakni “siapa pun” yang diputuskan menjadi capres, pilihan kepada partai PDIP lah yang paling diutamakan. Boleh jadi drama ini pun merupakan salah satu strategi mereka menarik sebanyak mungkin dukungan publik.