Politik

Kearogansian Gemoy dan Gaya Dedek Gemes Saat Debat.

Kiki Daliyo 5 months ago 768.0

Dulu kata “𝐆𝐞𝐦𝐨𝐲” acap pada sesuatu yang lucu-lucu nan menggemaskan. Tapi sekarang kata tersebut dimanfaatkan untuk menutupi kekosongan gagasan sekaligus mengubur dalam-dalam beban masa lalu yang pernah ditunaikan.

Ya, kita semua tahu sekarang ini kata “𝐆𝐞𝐦𝐨𝐲” merujuk pada siapa kalo bukan Prabowo Subianto. Perlu diacungi jempol untuk tim Prabowo, karena memakai karapan tersebut guna menarik simpati rakyat, wabil khusus Gen Z dan milenial. Mengingat anak muda zaman now lebih tertarik dengan gimmick ketimbang rekam jejak.

Strategi marketing tim Prabowo cukup cerdik dalam upaya mengaburkan bayang-bayang track record kelam sang junjungan. Kendati demikian, namanya saja sudah watak dan pembawaan, mau dipoles secantik, semulus hingga serapih apapun tetap saja akan menampilkan citra yang sesungguhnya.

Kita bisa lihat bagaimana penampilan Prabowo saat berada dipanggung debat bersama dua bacapres lainnya. Diantara ketiganya, tampak sekali raut wajah penuh amarah Prabowo beberapa kali keluar. Misal saat berdebat dengan Anies Baswedan,

Diawali pembahasan Anies perihal fenomena menurunnya kepercayaan rakyat terhadap demokrasi. Dengan lantang capres yang akrab disapa Mas Bowo (gak mau dipanggil mbah) ini melontarkan jawaban menggebu, hingga jari telunjuknya pun ikut serta dengan menunjuk-nunjuk Anies.

Dengan nada kesal, Prabowo pun sampai menyinggung pencalonan Anies saat di DKI. Menurutnya tanpa dukungan Prabowo, eks Gubernur DKI tersebut tak akan bisa menjadi kepala daerah.

Tak hanya Anies saja yang disemprot Prabowo, Ganjar pun juga demikian. Saat capres dengan nomor urut 03 ini melayangkan pertanyaan terkait komitmen Prabowo soal penuntasan kasus pelanggaran HAM, lagi-lagi Prabowo kembali memperlihatkan mimik wajah murkanya.

Suara meletup-letup tanpa rem pun keluar dari bibir Prabowo. Namun sayangnya, argumentasi yang dipaparkan Prabowo sama sekali tak substansi sebab jawabannya nglantur dan bertele-tele. Bahkan sampai menyangkutpautkan dengan hasil lembaga survei, yang akhir-akhir ini menyebutkan polling Prabowo-Gibran melejit.

Lo..lo..lo.. Jawaban Prabowo kok mbulet banget sih? Apa sengaja diputer-puterin karena beliau sendiri bingung mau respon gimana. Mengingat dirinya saja terlibat dalam tragedi pelanggaran HAM di masa lalu?

Seharusnya seorang capres yang digadang-gadang oleh Budiman Sudjatmiko dan barisan pendukungnya sebagai representasi Jokowi ini menjawab persoalan dengan lugas dan tegas. Bukan malah menye-menye tidak jelas!

Lagi pula pertanyaannya simple. Pertama, apakah Prabowo akan membentuk pengadilan HAM Ad Hoc saat menjadi Presiden. Dan kedua, akankah Prabowo membantu menemukan mereka para korban aktivis yang hilang. Akan tetapi hal itu dianggapnya sebagai pertanyaan tendesius dan terkesan menyudutkannya, imbas rekam jejaknya di masa lalu.

Dimana letak ketegasan Prabowo sebagai seorang capres? Bukankah mencari korban yang hilang ibarat kita sedang menghormati dan melindungi hak mereka. Meskipun, mungkin saat ini para korban tak lagi bisa merasakan?

Pun jangan lupakan keluarga korban yang sampai sekarang air mata mereka tak kunjung kering untuk menangisi kepergian salah satu anggota keluarganya. Mereka juga punya hati dan perasaan, mereka butuh penegakkan hukum yang adil. Bukan yang hanya memberatkan orang kecil dan meringankan yang kaya.

Kalopun Prabowo tak berkomitmen untuk menegakkan hukum dan menyelesaikan perkara HAM, lantas untuk apa dirinya maju jika sejatinya tak membantu rakyat?

Apabila Prabowo pro rakyat, harusnya ia menjawab seperti halnya yang diungkap Ganjar, berkomitmen untuk membereskan kasus pelanggaran HAM, karena itu sudah menjadi bagian dari pekerjaan rumah yang harus ditunaikan dan dituntaskan.

Selain Prabowo yang terus-terusan menahan amarah, namun pertahanannya jebol saat membuka suara. Justru ada potret lebih menarik lagi, dimana Gibran sebagai wakil si Gemoy ikut menjadi pemandu sorak para pendukung Prabowo-Gibran.

Dibelakang panggung debat, sosok Gibran mencuri atensi publik, sebab dengan emosionalnya ia mengerahkan kekuatan massanya yang datang untuk bersuara keras agar turut bersorak.

Duh duh… parah nih. Pasangan capres-cawapres ini ternyata sama aja, sama-sama gampang naik pitam untuk hal-hal sepele. Satunya arogan eh satunya emosian.

Alhasil aksi Gibran yang kontroversi itu berbuntut panjang, pasalnya KPU buka suara bahwa tindakan Gibran yang katanya berupaya membakar semangat pendukung nyatanya tak diperbolehkan dalam debat.

Sorry to say nih mas Gibran, itu debat bukan pertandingan bola yang harus mengerahkan suporter untuk unjuk kekuatan sorakan. Sejatinya debat harusnya menjadi ajang supaya pemilih mendalami gagasan yang ditawarkan para capres.

So, apakah yang begini dirasa bisa dan mampu meneruskan kinerja Jokowi? Meskipun Gibran anak Jokowi, bukan berarti putra mahkota yang manja ini memiliki sikap kenegarawanan seperti ayahnya. Lagi pula tugas utama untuk menahkodai negara adalah Presiden, wakil hanya akan membantu dari belakang.

Toh Gibran juga masih awam dalam dunia pemerintahan, jadi akan sangat minim kiprahnya membantu seorang Presiden untuk menuangkan gagasan menjadi sebuah program yang membawa kemaslahatan.

Garis besarnya, memilih pemimpin bukan karena termakan gimmick gemoynya yang ternyata hanya untuk menutupi kearogansian. Pun memilih pemimpin bukan hanya melihat dia putra Presiden, karena belum tentu ia mewarisi bakat serta pemikiran cerdas yang dimiliki ayahnya.

Tapi, memilih pemimpin harus berdasarkan rekam jejak sekaligus visi-misi dan program yang ditawarkan untuk kesejahteraan serta kemakmuran bangsa, sebab negara ini tengah bersiap menyongsong Indonesia Emas 2045.